Cerpen Remaja "Memejamkan Mata" ~ Bersyukur dan Berbahagia

About Me

About Me


Penikmat sastra dan staff pengajar fisika
di salah lembaga bimbingan belajar di Padang.
Bergiat di Forum Lingkar Pena Sumatera Barat.
Hobby melakukan apapun asal menyenangkan.

FLP

FLP
Logo FLP

Thursday, July 28, 2016

Cerpen Remaja "Memejamkan Mata"



MEMEJAMKAN MATA
Irepia Refa Dona
Terbit di singgalang 07 Juli 2016

Ditatapnya tubuhnya yang kaku terbaring di atas dipan kayu yang sudah mulai rapuh dimakan usia. Tangannya yang kurus terlipat ke dada. Matanya tertutup. Alis matanya tebal, bahkan tanpa pensil alis yang sering dipakai orang-orang. Bulu matanya panjang, bukan karena bulu mata palsu. Badannya yang kurus, dibungkus oleh kain. Terpancar rona pucat dari wajahnya. Ternyata ia lebih mirip ibunya daripada ayahnya, yang hanya bisa dilihatnya lewat foto pernikahan mereka.
Ia tersenyum menatap tubuhnya yang terbaring tanpa roh. Selama ini tidak satu pun keinginannya yang terkabul. Tapi kali ini, sepertinya Allah mendengar do’anya. Ia ingin sekali memejamkan matanya untuk selamanya. Dan kini keinginannya telah menjadi kenyataan.
*****

Nayla merebahkan tubuhnya di atas rumput di belakang rumahnya. Memejamkan matanya beberapa jam lamanya. Dia menganggap, memejamkan mata adalah hal yang paling menyenangkan. Buktinya, ibunya tidak lagi dibentak –bentak saat sipenagih hutang datang dan ayahnya tidak lagi merasakan sakit saat mencoba untuk menghela nafas. Dia juga ingin memejamkan matanya, tapi setiap kali ia memejamkan matanya, matanya selalu terbuka kembali. Ia ingin memejamkan matanya untuk selamanya.
“Neng, tolong ambilkan nenek sereh!” Meski berjam-jam ia memejamkan matanya, tapi suara neneknya tetap dapat didengarnya dengan sangat jelas. Ia mencoba membuka matanya, jangan bisa, jangan bisa. Hati kecilnya berharap agar matanya tidak pernah bisa terbuka untuk selamanya. Huft. Lagi-lagi keinginannya tidak bersahabat dengan matanya. Matahari telah menatapnya, seolah-olah berkata cilukba. Ia menyembunyikan matanya dengan telapak tangannya yang kecil, karena tak tahan oleh tatapan curiga matahari siang itu. Ia bergegas menuju rumpun sereh yang ada di belakang rumahnya.
Nayla menatap neneknya dengan mata tidak berkedip sedikit pun. Sebatang sereh sudah berada di genggamannya. Sebuah senyum manis hadir di wajah imutnya. Senyum kebahagiaan gadis yang baru menamatkan pendidikan dasar itu dulu selalu menarik perhatian setiap orang yang melihatnya. Tapi semenjak orangtuanya meninggal ia lebih banyak menghadirkan wajah tanpa ekspresi daripada tersenyum. Sekarang, entah apa yang membuatnya tersenyum. Neneknya pun heran. Tapi ia terlihat sangat bahagia melihat senyum cucu kecilnya. Dan menyuruhnya mandi karena sebentar lagi waktunya pergi mengaji. Meski ia sudahbisa mengaji, tapi neneknya ingin ia belajar tajwid dan irama.
Semenjak orangtuanya meninggal, ia tinggal dengan neneknya. Ia adalah cucu satu-satunya. Neneknya merawatnya dan menyekolahkannya dengan uang hasil jualan tikar, sapu lidi, dan sayur yang di buat dan ditanamnya sendiri.
Malam itu, bintang menghiasi langit dengan indahnya. Bulan muncul di antara bintang-bintang. Nayla tidur di teras rumahnya berbantalkan paha neneknya yang mulai keriput. Neneknya meraba-raba rambutnya. Entah apa yang tangannya coba cari. Tapi kelihatannya ia hanya ingin membelai cucunya.
“Nek, sebelum aku meninggal, nenek jangan meninggal duluan. Aku takut ditinggal sendirian.” Nayla memecahkan suasana malam itu dengan pertanyaan yang tak disangka-sangka oleh neneknya. Neneknya diam. Tidak ada jawaban yang terdengar. Nayla mengalihkan pandangannya dari bintang-bintang yang menghias langit malam itu, menatap neneknya yang belum juga menanggapi ucapannya.
Neneknya tersenyum. Entah itu lesung pipit yang terbentuk di wajahnya, entah itu cekung karena ia telah tua. Keduanya tidak bisa dibedakan. Ia berkata pelan, kalau ia berharap, tidak akan meninggal sebelum cucunya dewasa dan mempunyai suami nanti. Ia ingin melihat cucunya memakai sunting, pakain mempelai wanita saat menikah. Ia hanya tersenyum mendengar ucapan neneknya. Baginya, hanya neneknya yang ia miliki di dunia ini selain Sazy, kucing kesayangannya, yang selalu menemaninya tidur. Sedangkan teman. Tidak ada yang mau berteman dengannya seorang pun.
“Neng, ayo bangun! Nanti kamu terlambat ke sekolah.” Suara neneknya terdengar sayup-sayup sampai. Sepertinya ia sedang berada di bekang rumah. Mengambil sayur untuk dijual ke pasar pagi ini. Nayla enggan untuk bangun. Baginya pergi sekolah dan mengaji adalah dua hal yang sangat menakutkan. Di sana ia akan di anggap tidak ada. Tidak ada satu pun yang mau berteman dengannya. Dia akan melalui hari-harinya sendirian. Karena teman-temannya takut mereka akan tertular penyakit TBC yang diderita ayahnya, yang mungkin juga menular padanya. Tapi karena takut pada neneknya, ia tetap saja pergi sekolah dan mengaji walau seringkali ia bolos.
Lapangan sepak bola, itu adalah tempat yang sering dikunjungi saat ia tidak ingin kesepian saat berada dikeramaian, saat ia bolos sekolah atau mengaji. Tempat itu berada cukup jauh dari perumahan penduduk. Di sana ia akan berbaring berapa pun lamanya ia suka. Tidak ada yang mengganggunya. Bahkan matahari. Ia sudah terbiasa dengan tatapan curiga matahari. Sampai tidak sadar kalau matahari sudah condong ke barat.
“Kamu dari mana saja? Kok lama sekali pulang sekolahnya? sudah shalat zuhur?” Ia disambut dengan segudang pertanyaan dari neneknya. Ia tahu, itu wujud kasih sayang neneknya. Ia tidak bisa membohonginya. Sehingga ia putuskan untuk diam sambil tersenyum. Senyum yang mampu meluluhkan hati neneknya. Dan bergegas ke kamar, mengambil handuk, kemudian mandi.
Suatu ketika, saat pulang sekolah, saat itu ia pulang lebih awal. Ia tidak menemukan neneknya di rumah. Ia tahu, jam segini pasti neneknya ke pasar untuk jualan. Badannya terlihat lemas. Matanya merah, seperti orang habis menangis. Bajunya kotor, seperti dilempari sesuatu. Ia meletakkan tasnya ke dalam kamar kemudian menuju ke belakang rumahnya. Tempat favoritnya. Ia mulai berbaring di atas rumput. Matanya menatap sinar mentari siang itu. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada satu arah. Di angkasa, beberapa kawanan burung terbang dengan bebasnya.
“Bahkan burung pun punya teman.” Ia mengoceh sendiri. Menatap cemburu pada burung-burung yang seolah-olah mencibirnya. Matanya tidak lepas-lepasnya menatapnya. Meneteskan bulir air dari kedua ujung matanya. Entah karena terharu melihatnya, entah karena matanya perih akibat sinar matahari dan entah karena hatinya begitu penuh karena desakan kesedihan.
Entah berapa lama ia berbaring. Ia sudah tidak ingat lagi. Yang ia ingat, siang itu badai berhembus begitu kencang. Menerbangkan daun-daun. Bahkan ia rasakan daun mendarat di pipinya karena ditiup angin. Matahari sudah bersembunyi di balik awan hitam. Setetes-setetes dirasakan air membasahi tubuhnya. Neneknya tak kunjung pulang. Ia tidak ingin membuka matanya. Ia tidak ingin melihat dunia yang begitu kejam baginya. Ia ingin memejamkan matanya selamanya.
Saat ia mencoba membuka matanya, semua terasa begitu berbeda. Tidak ada rumah. Tidak ada pohon-pohon. Dari jauh ia lihat dua orang berpakaian serba putih menujunya. mereka terus berjalan. Bahkan tidak memperdulikannya. Hatinya terasa sakit. Dimana pun ia berada, ia selalu dianggap tidak ada. Bahkan oleh orangtuanya sekali pun. Dalam hati ia berkata, neneknya benar, bahkan jika ia mati, orangtuanya tidak akan mengenalinya. Di dalam kubur, kita hanya mengurusi urusan kita masing-masing. Hanya saja, jika ia ingin menolong orangtuanya, meringan dosa mereka, maka do’akan mereka. Karena do’a anak soleh dan solehahlah yang akan terus mengalir pada orangtuanya.
Nayla menangis, meski suaranya tidak keluar, tapi pipinya basah diguyur airmata. Ia berbalik, menuju rumahnya. Ia ingin sekali mengunjungi neneknya. Sedang apa neneknya sekarang. Ini adalah waktu neneknya memasak. Pasti tidak ada orang yang bisa dimintai tolong untuk mengambil sereh.
Dilihatnya tubuhnya yang terbaring di atas dipan. Sazy berbaring di sampingnya. Dengan mata terus menatapnya. Jilati pipiku Sazy, seperti yang biasa kau lakukan saat membangunkan aku. Nayla menatap kucingnya penuh harap. Sepertinya harapan itu hanya akan menjadi harapan kosong. Dilihatnya sekeliling, sejauh apapun matanya mencari, tapi ia tidak menemukan sosok neneknya. Ia kemudian bergegas ke belakang. Biasanya jam segini neneknya sedang memasak. Dan ia berbaring di halaman belakang rumahnya. Ternyata benar, neneknya sedang berjalan tersuruk-suruk, sepertinya mau ke belakang.
“Pangil aku Nek! Agar aku bisa mengambilkan batang sereh buat nenek!” Nayla mengoceh sendiri. Walau ia tahu, neneknya tidak akan bisa mendengarnya. Neneknya terus berjalan. Ia mengikutinya dari belakang. Ditatapnya batang sereh itu lama. Ia menangis. Satu hal yang di ingatnya, selama ini ia tidak pernah mengambil batang sereh. Biasanya cucunya yang mengambilkan untuknya. Isak tangis menyelimuti rumpun sereh sore itu.
Nayla tidak tahan melihat neneknya menangis. Airmata berkilauan di matanya. Ia tidak sanggup lagi membendung airmatanya. Isak tangis pecah bersamaan dengan isak tangis neneknya. Sambil menangis ia terus berkata maaf. Maaf karena selalu tidak mendengarkan nasehat neneknya, maaf karena ia selalu ingin meninggalkan neneknya dan maaf karena tidak menepati janjinya.
*****
“Neng, ayo bangun!” Nayla membuka matanya sambil tersedu-sedu. Pipinya terasa basah oleh airmata. Ia lihat neneknya sudah berada di sampingnya. Di atas dipan kayu. Sazy menatapnya. Lidahnya masih terjulur. Sepertinya habis menjilati pipinya. Ia merangkul neneknya erat. Seperti tidak ingin melepasnya. Neneknya pun terlihat heran melihat tingkah cucu kecilnya.
“Cucu nenek mimpi apa? Bahu nenek terasa mau patah menggendongmu ke atas dipan.” Neneknya mengusap-ngusap rambut Nayla yang basah. Entah karena keringat, entah karena airmata. Nayla tidak bicara. Ia hanya berusaha untuk meredahkan tangisnya. Tapi Ia tetap saja terisak-isak sambil berkata kalau ia ingin mengambilkan sereh untuk neneknya, setelah itu ia mandi, dan pergi mengaji. Ia ingin belajar do’a ke ustad yang mengajarkannya mengaji.
Neneknya tersenyum sambil mencium kening cucunya dan berkata, selagi kita hidup, maka jalanilah kehidupan dengan sebaik mungkin, selalu bersyukur, karena disaat sedih, Allah selalu menghembuskan angin kebahagiaan. Disaat tersesat, Allah sinari kita dengan cahaya petunjuknya. Disaat butuh pertolongan, pertolonganNYA hadir dari arah yang tak pernah kita duga. Tidak usah takut hidup di dunia ini. Kita tidak akan pernah terlantar, kita tidak akan pernah tersesat, karena akan selalu ada pertolongan Allah. Allah itu maha adil.
Nayla menatap neneknya yang terus mengoceh. Entah ia mendengar apa yang diucapkan neneknya. Entah ia hanya senang, karena keinginannya tidak terkabul.

Punggasan, Juni 2016
Irepia Refa Dona, Sarjana Fisika Universitas Negeri Padang,
Anggota Forum Lingkar Pena Smatera Barat




0 comments:

Post a Comment