Terbit Di HALUAN Tanggal 29 Januari 2017
Sesekali terlihat
perempuan yang sedari tadi duduk di bangku taman itu memetik bunga mawar merah
yang sedang mekar. Sebenarnya aku ingin melarangnya merusak bunga yang ada di
taman ini, tapi segera aku urungkan niatku saat melihat wajah murungnya. Aku
tidak yakin apa yang akan dilakukan perempuan itu dengan setangkai bunga yang
kini sudah berada di tangannya. Sesekali ia menyibak rambutnya yang diterbangkan
angin sore itu.
Bukan ingin mencium
aroma mawar seperti yang aku pikirkan, tapi ia malah melepaskan satu persatu
kelopak bunga tersebut. Ah, selain merusak tanaman perempuan itu malah menambah
sampah yang berserakan. Haruskah aku menegurnya? Tapi saat kakiku hendak
melangkah, telingaku menangkap suara lembut perempuan itu.
“Datang.” Saat satu
kelopak bunga lepas.
“Tidak.” Saat kelopak
kedua lepas.
“Datang, tidak. Datang,
tidak. Datang, tidak. Datang, tidak. Datang, tidak.” Begitu selanjutnya yang
dikatakan perempuan itu sembari melepas satu persatu kelopak bunga tersebut
sampai tak bersisa satu pun. Ia menghela nafas dalam. Dan aku pun menghela
nafas dalam saat melihat kelopak bunga yang berserakan di bawah angin.
Selang beberapa menit
raut wajah perempuan itu berubah jadi bengis. Ada lipatan di keningnya. Matanya
menatap tajam pada seseorang yang berjalan gontai ke arahnya. Ternyata
menghitung tiap kelopak bunga itu dapat juga memberikan petunjuk. Buktinya
seseorang memang datang saat kelopak bunga terakhir mengatakan datang. Suatu
saat aku juga ingin melakukan hal yang seperti itu. Tapi kapan? Apa Tuhan akan
memberikan waktu untukku melakukan hal seperti itu?
“Kau mau mati?” Aku tersadar dari obrolan
batinku saat mendengar lelaki yang baru saja datang menghampiri perempuan
pemetik mawar dan membentaknya dengan sangar. Tidak ada yang memperhatikan dua
orang ini. Semua orang yang berada di taman ini hanya berkumpul di satu tempat.
Aku tidak tahu apa yang mereka lihat. Awalnya aku juga ingin mendatangi
kerumunan orang tersebut. Aku ingin tahu apa yang mereka coba lihat. Tapi
perempuan yang aku beri nama perempuan pemetik mawar ini lebih menarik
perhatianku. Aku urung melihat apa yang sedang dilihat orang-orang itu.
“Jangan pernah menghubungiku
lagi!” Lelaki itu memalingkan badannya seperti hendak pergi. Dengan cepat
perempuan tersebut berdiri dan memegang tangan lelaki itu.
“Aku tidak memaksa kau
mengakui bayiku sebagai anakmu. Kau cukup mengatakan kalau kau menikahi
perempuan malang karena kau merasa kasihan padanya.”
Aku dengar suara tangis
dan memelas perempuan itu. Aku mencoba bersembunyi di balik pohon cemara saat
mata lelaki itu menyelidik ke sana kemari. Aku yakin, dia pasti sedang
memastikan agar tidak ada satu orang pun yang mendengar percakapannya. Dan aku
heran, apa yang dilihat orang-orang itu. Seharusnya ia menolong perempuan
malang ini.
“Kau bicara tentang
pernikahan? Aku tidak akan menikahimu. Kau mengancamku dengan bayi sial itu?
Ayo lakukan sepuasmu. Kau hanya akan lelah. Kau tidak punya bukti sedikit pun.
Dan kau tahu, siapa pula yang akan percaya pada perempuan yang tidak memiliki
siapa-siapa. Bahkan saat kau memiliki orang tua saja tidak ada yang akan
mempercayaimu. Kau harus jadi anak pejabat agar kau bisa menuntut orang.”
Betapa kasarnya mulut lelaki itu. Apa? Dia bilang tidak ada bukti? Aku akan
jadi saksi pertengkaran ini.
Perempuan itu kembali
menangis. Angin sore ini mungkin tidak mampu mendinginkan hatinya yang panas.
Aku memang seringkali menyaksikan hal semacam ini selama aku bertugas di taman.
Dan semenjak kejadian buruk yang menimpaku lima tahun yang lalu, aku tidak
pernah lagi ikut campur urusan orang lain. Biarlah mereka mencoba menyelesaikan
masalah mereka sendiri. Apalah dayaku, aku hanya lelaki lemah yang hanya bisa
mengendalikan sampah yang berserakan di taman ini.
“Aku tidak akan pernah
menikahimu. Kau gugurkan saja kandunganmu itu.” Lelaki biadab itu kini semakin
terlihat biadab di mataku. Matanya terlihat menakutkan. Seperti ingin melompat
keluar. Ingin sekali aku melepaskan tangannya yang berkacak di pinggang yang sebentar
lagi pasti akan seperti sebatang pohon raksasa yang tumbuh subur di hutan
terkutuk. Tapi aku takut kejadian buruk terulang lagi. Dan aku benar-benar
merasakan bahwa kejadian lima tahun yang lalu masih membekas dengan sempurna di
ingatanku. Kepalaku terasa pusing. Perutku seperti tertusuk sesuatu yang
membuat darahku bercucuran. Orang-orang hanya menatapku dengan ngeri. Seolah
kejadian itu baru saja terjadi. Aku seolah merasakannya kembali saat aku
berkeinginan untuk menolong perempuan malang ini
*****
“Sepertinya dia belum
meninggal.”
Kerumunan orang
tersebut semakin banyak. Semua pengunjung taman sepertinya hanya berkumpul pada
satu titik tersebut. Beberapa orang yang berdiri paling belakang, sesekali mendongakkan
kepala. Berusaha membuat tubuhnya lebih tinggi agar bisa melihat di antara
orang-orang yang berada di depannya. Raut muka mereka kadang terlihat ketakutan.
Tidak sedikit pula memperlihatkan rasa kasihan. Aku benar-benar hafal raut
wajah seperti itu.
“Dia pekerja paling
ramah di taman ini.”
Pekerja paling ramah?
Sepertinya aku sering mendengar ucapan itu. Dulu juga ada beberapa orang
mengatakan kalau aku pekerja ramah. Tapi aku tidak terlalu memikirkan. Bukankah
dibilang ramah itu adalah tanggung jawab?
“Memang benar, orang
baik itu cepat meninggal. Haruskah aku menjadi jahat agar aku bisa lama hidup
di dunia ini.” Suara beberapa orang terdengar di telingaku. Suara itu berasal
dari sekelompok orang yang entah apa dilihatnya.
Orang baik cepat
meninggal? Aku rasa betapa bodoh pemikiran orang yang bicara barusan. Tidakkah
ia membaca? Atau tidakkah ia belajar di sekolah? Bahwa jodoh, rezeki, kematian
sudah ada yang mengaturnya. Seharusnya ia tidak percaya dengan pemikiran aneh
itu. Kenapa akhir-akhir ini terlalu banyak kejadian? Haruskah aku memastikan
apa yang terjadi di sana?
Mata semua orang
beralih pada satu bunyi. Sirine mobil ambulance.
Sepertinya ada yang terluka parah. Kenapa tidak ada orang yang mengabariku? Apa
karena mereka tidak melihatku karena aku sibuk bersembunyi di balik pohon cemara
mengikuti kisah perempuan malang ini? Aku harus melihatnya sendiri. Keluar dari
persembunyian ini untuk sementara. Sebelum pergi, aku coba melihat dua orang
yang mungkin juga tidak tahu, atau mungkin tidak peduli dengan kejadian lain
yang sedang terjadi.
Aku lihat lelaki biadab
itu tertunduk. Mungkin inilah saat yang tepat untukku beranjak dari
persembunyianku. Aku harus mendatangi orang-orang yang sedang berkumpul dan
mengatakan pada mereka bahwa ada kejadian kejam di sini. Tapi saat kakiku
hendak melangkah, aku dengar erangan perempuan yang suaranya hampir aku kenali
di telingaku.
Aku lihat ia tersungkur
di dekat kursi taman yang terbuat dari
semen. Perempuan itu memegang perutnya. Cairan merah pekat, kental, mulai
membasahi rok putihnya. Sesekali tangannya berusaha menggapai lelaki itu. Tapi
uluran tangannya sia-sia.
Lelaki itu menatapku. Aku
ketahuan sedang menguping pembicaraan mereka. Matanya terlihat memancarkan
kemarahan. Apakah itu ancaman yang diperlihatkan lewat tatapan mata? Tapi
sepertinya ia tidak berniat menghampiriku. Mungkin menurutnya, ia cukup
membuatku ketakutan lewat tatapan misteriusnya agar aku tidak membuka mulut. Ia membalikkan badannya dan hendak pergi. Aku
bergegas keluar dari persembunyian. Tujuanku hanya satu, mencegah lelaki itu
pergi. Setidaknya ia harus membawanya ke rumah sakit. Tapi saat aku hendak
melangkah. Seseorang berpakaian hitam datang dari kejauhan. Kilauannya membuat
silau mataku. Aku mencoba mengalihkan pandangan dari cahaya tersebut. Tapi aku
tidak bisa. Samar-samar terdengar suara dari kerumunan orang tersebut.
“Sepertinya ia sudah
meninggal.”
Aku ingin menyaksikan
siapa yang barusan mereka bilang sudah meninggal. Tapi tidak, aku terlebih
dahulu harus menolong perempuan malang ini. Soal orang yang meninggal aku bisa
tanyakan pada rekanku nanti. Tapi sepertinya cahaya itu datang tepat padaku. Ia
membawaku pergi. Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya pada perempuan
malang itu. dan sesaat aku baru menyadari ke mana aku akan pergi. Dan siapa
yang baru saja meninggal.
Padang, Januari
2017
Irepia Refa Dona
Baca juga Perempuan Pendongeng
0 comments:
Post a Comment