Bersyukur dan Berbahagia

About Me

About Me


Penikmat sastra dan staff pengajar fisika
di salah lembaga bimbingan belajar di Padang.
Bergiat di Forum Lingkar Pena Sumatera Barat.
Hobby melakukan apapun asal menyenangkan.

FLP

FLP
Logo FLP

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Saturday, August 14, 2021

Sistem Tenaga Listrik

 

Sistem tenaga listrik adalah sebuah jaringan terinterkoneksi yang berfungsi untuk mendistribusikan listrik dari pembangkit ke pengguna. Untuk lebih jelas terkait prosesnya, dapat diperhatikan gambar dibawah ini:

Sistem Pembangkitan Listrik

Sistem Pembangkitan Tenaga Listrik berfungsi membangkitkan energi listrik melalui berbagai macam pembangkit tenaga listrik. Pada pembangkit tenaga listrik ini sumber-sumber energi alam dirobah oleh penggerak mula menjadi energi mekanis yang berupa kecepatan atau putaran dan selanjutnya energi mekanis dirobah menjadi energi listrik oleh generator.

Sistem Transmisi

Sistem transmisi berfugsi menyalurkan tenaga listrik dari pusat pembangkit ke pusat beban melalui saluran transmisi, karena adakalanya pembangkit tenaga listrik dibagun ditempat yang jauh dari pusat-pusat beban.

Sistem Distribusi

Sistem Distribusi berfungsi mendistribusikan tenaga listrik ke konsumen yang berupa pabrik, industri, perumahan dan sebagainya. Transmisi tenaga dengan tengangan tinggi maupun tegangan ekstra tinggi pada saluran transmisi dirubah pada gardu induk menjadi tegangan menengah atau tegangan distribusi primer, yang selanjutnya tegangannya diturunkan lagi menjadi tegangan untuk konsumen.

Gangguan Sistem Tenaga Listrik

1. Gangguan dari dalam sistem tenaga listrik

  1. Arus dan tegangan tidak stabil/ tidak normal
  2. Proses instalasi pemasangan yang kurang tepat
  3. Terjadinya kesalahan mekanis di beberapa titik akibat proses penuaan
  4. Terdapat beban yang berlebih
  5. Mengalami beberapa kerusakan komponen material seperti isolator pecah, kabel cacat, kawat putus, dan lain-lain.

2. Gangguan dari luar sistem tenaga listrik

  1. Terdapat beberapa gangguan mekanis yang diakibatkan oleh pekerjaan galian saluran untuk pekerjaan lain, yang biasanya dapat mengganggu sistem kelistrikan bawah tanah.
  2. Efek dan pengaruh cuaca dan iklim seperti misalnya, angin, hujan, petir, yang bahkan dapat mengakibatkan gangguan hubungan singkat akibat menembus isolasi peralatan (breakdown)
  3. Pengaruh lingkungan dan kecerobohan manusia yang dapat merusak sistem tenaga listrik

Perancangan dan Perencanaan Sistem Tenaga Listrik

Perancangan adalah proses atau cara membuat rancangan, dalam hal ini kalau diterapkan pada sistem tenaga listrik akan melibatkan masalah bagaimana merancang pembangkit, saluran transmisi dan distribusi tenaga listrik yang disesuaikan dengan kebutuhan masa datang

Perencanaan adalah menyangkut masalah pembuatan rencana, yang melibatkan masalah perencanaan pengoperasian, perbaikan dan perluasan pada sistem tenaga listrik

Hal yang diperlukan pada saat perencanaan dan perancangan

  • Analisis aliran beban sistem tenaga listrik
  • Analisis gangguan sistem tenaga listrik
  • Analisis stabilitas sistem tenaga listrik

Monday, May 11, 2020

Cara Mengetahui Jumlah Kata dan Karakter dalam Mikrosoft Word


Meski wabah sedang melanda, semoga kita tetap bisa melaksanakan aktivitas yang bermanfaat. Tetap di rumah aja, tapi jangan buat suasana jadi membosankan. Kita bisa melakukan apa saja di rumah. Belajar di rumah, bekerja di rumah, dan beribadah di rumah. Bagi teman-teman yang mengharuskan untuk keluar rumah, tetap waspada dan selalu jaga kesehatan. Semoga wadah cepat berlalu. Aamiin.

Untuk teman yang hobi menulis, kegiatan di rumah saja bisa dilakukan dengan menghasilkan banyak karya. Mengikuti berbagai lomba menulis. Tapi ada beberapa hal yang perlu kita ketahui sebelum menulis. Salah satunya mengetahui jumlah karakter dalam Mikrosoft Word.

Mungkin sebagian teman-teman banyak yang sudah tahu dan menganggap ini hal yang mudah, tapi apa yang kita ketahui belum tentu orang lain juga tahu. Dan sebaliknya, apa yang orang lain tahu, belum tentu kita juga tahu. Itu sebabnya orang kata, berbagi itu indah. Biar kita sama-sama tahu. Dan tentunya tidak ada rahasia di antara kita. (Oups … ! Soal kalimat terakhir itu hanya pemanis saja J).

Masuk kepembahasan sesungguhnya J. Terakhir banyak pertanyaan baik secara langsung maupun yang bertanya lewat sosmed, “Bagaimana sih kak cara mengetahui jumlah karakter pada Mikrosoft Word?”

Tentu bagi teman-teman yang suka menulis atau dalam proses belajar menulis, baik fiksi maupun non fiksi harus mengetahui cara mengetahui jumlah karakter tulisan teman-teman. Karakter ini ada dua, karakter tanpa spasi dan karakter dengan spasi. Tidak jarang beberapa media ataupun perlombaan memberikan syarat demikian. Misalnya jumlah maksimal karakter 10.000 karakter. Nah, ini yang sebagian kita banyak yang tidak tahu. Mungkin kalau jumlah kata teman-teman bisa mengetahui dengan mudah karena sudah terpajang di layar bagian bawah komputer teman-teman. Tapi untuk mengetahui jumlah karakter, kita perlu melakukan penelusuran lebih lanjut.

Sumber : Dokumen Pribadi.

Gambar di atas menunjukkan jumlah kata dalam Microsoft Word. Sebagaimana yang kita lihat, ketikan tersebut terdiri dari 183 kata. Sebagian media atau lomba kadang memberikan syarat dalam bentuk jumlah kata.

Nah, untuk mengetahui jumlah karakter dalam Microsoft Word, teman-teman cukup klik tulisan word tersebut. Maka akan muncul seperti gambar di bawah ini.


Sumber : Dokumen Pribadi.

Kira-kira itu dulu pembahasan kita kali ini. Kalau ada yang salah mohon dikoreksi. Karena kita di sini sama-sama belajar. Kalau ada tambahan boleh ditulis di kolom komentar. Semoga tulisan sederhana ini bisa membantu teman-teman semua.

Salam semangat … J

 

 

 

 

 

 

 

 


Wednesday, November 27, 2019

Bahasa Unik Pesisir Selatan


Dima bumi dipijak di sinan langik dijunjuang

Sering dengar kata itu nggak ges??
Ungkapan di atas memang benar. Tapi dalam segi berbahasa, beberapa orang lebih memilih bahasa daerahnya sendiri meski berada di daerah lain. Bukan karena tidak bisa beradaptasi. Barangkali terlalu cinta daerahnya J. Atau bisa jadi ada rasa kepuasan sendiri saat orang-orang tidak mengerti apa yang dia katakan. Baiklah, sebagai orang Pesisir Selatan, saya akan mencoba menjelaskan beberapa kata unik yang mungkin tidak digunakan di daerah lain. Barangkali juga bisa dipakai sebagai referensi jika bertemu dengan seseorang yang suka menggunakan istilah daerahnya sendiri J.
OK, kita lansung cus ke kata-kata unik daerah Pesisir Selatan

Kuyua
Kuyua adalah mengeluarkan zat sisa di dalam tubuh berupa cairan (dalam istilah Biologi cairan sisa yang dieksresikan oleh ginjal). Atau bahasa indonesianya kencing ya ges J

Kuyua madu
Madu adalah cairan yang dihasilkan lebah. Sedangkan kuyua madu adalah hasrat dimana seseorang ingin mengeluarkan cairan berupa urin J

Pasiak
Pasiak adalah suatu ungkapan yang ditujukan kepada seseorang yang memiliki sikap atau perbuatan yang melewati batas normal atau bisa dikatakan sedikit kelewatan. Tenang Ges, pasiak bukan berarti gila ya. Misalnya seseorang yang makan makanan yang pedasnya luar biasa. Itu bisa saja kita mengatakan kepada orang tersebut, "Pasiak ma."

Kenyak
Kenyak adalah ungkapan untuk memanggil seseorang agar menghampiri kita. Dalam bahasa indonesia kemarilah :)

OK Ges. Kata uniknya segitu dulu ya.... Barangkali ada yang mau menambahkan silakan di tulis di kolom komentar. Setiap daerah memiliki bahasanya sendiri. Berbahagialah orang-orang yang bisa menggunakan bahasa daerah sesuka hati (pembelaaan J)

Wednesday, May 23, 2018

Contoh Surat Penarikan Karya ke Media

 
Setiap sesuatu itu muncul karena ada alasan tertentu.  Begitu juga dengan tulisan sederhana ini. Tulisan sederhana ini muncul karena ada banyak pertanyaan, “Bagaimana sih kirim email penarikan karya ke media?”

Berawal dari alasan itu, saya ingin membagi sedikit pengalaman saya dan belajar dari beberapa pengalaman orang lain dalam menulis surat penarikan. Kenapa itu penting? Mengirim surat penarikan karya sangat penting bagi penulis.

Pertama, kita tidak bisa mengirimkan sesuka hati karya yang telah kita kirim ke suatu media dan dikirim lagi ke media lain meski karya tersebut belum diterbitkan. Hal itu nantinya akan terjadi pemuatan ganda. Teman-teman tentu tahu, media tidak suka menayangkan karya yang telah diterbitkan oleh media lain. Itu sebabnya, sebelum mengirim karya tersebut ke media lain, kita harus mengirimkan dulu surat penarikan karya ke media sebelumnya. Agar redaktur media tersebut tahu kalau karya tersebut telah kita tarik.

Kedua, kita tidak mungkin menunggu terlalu lama karya yang telah kita kirim untuk terbit. Lagian, beberapa media tidak memberi masa tunggu untuk karya dikatakan tidak bisa diterbitkan. Menunggu hal yang tidak pasti itu tentunya sangat membosankan bukan? dan pastinya setiap orang butuh kepastian. Jadi daripada terus-terusan menunggu, lebih baik kita menargetkan sendiri masa tunggu untuk karya kita. Misalkan karya teman teman sudah beberapa bulan atau beberapa tahun mungkin nongkrong di media tersebut, namun belum juga diterbitkan, maka boleh saja teman-teman mengirimkan surat penarikan karya agar karya tersebut bisa direnovasi kembali.
Nah.. inilah contoh surat penarikan karya. Mungkin tidak terlalu bagus dan masih jauh dari kata sederhana, tapi semoga saja bisa membantu bagi teman-teman yang butuh.

Yth. Reaktur  Rubrik sastra
Koran (Isi nama korannya)
Di tempat

Sebelumnya saya do’akan Bapak / Ibu dalam keadaan sehat dan sejahtera. melalui surat elektronik ini, saya bermaksud mengajukan penarikan naskah cerpen yang berjudul (Isi judul cerpen) atas nama (isi nama penulis) yang saya kirim pada tanggal 23 Mei 2018 pukul 17.10 WIB.
Demikian saya sampaikan surat elektronik ini. Di lain waktu saya akan mengirimkan karya ke media ini lagi. Atas perhatian Bapak / Ibu, saya ucapkan terima kasih.

salam
(nama penulis)

Begitulh kira-kira isi surat penarikan karya. Mungkin teman-teman bisa memperbaiki dan memperindah dalan versi teman-teman. Jika ada saran dan masukan, jangan segan-segan mengajukan dalam kolom komentar. Saya juga masih dalam proses belajar. jadi masukan dari teman-teman sangat saya harapkan.
Terima ksih telah berkunjung. salam literasi.....

Monday, July 24, 2017

Mencuri Matahari




Alhamdulillah... akhirnya bisa nongkrong juga di koran nasional. Sedikit curcol, cerpen ini awalnya aku kirim ke basabasi.co. Ternyata dia kalah keren dengan cerpen yang masuk lainnya. Setelah dua bulan nangkring di sana (dan memang ketentuan batas waktu di basabasi.co dua bulan), akhirnya aku putuskan untuk mempolesnya  sedikit, berharap agar ia terlihat sedikit anggun (entah sudah anggun entah belum :)) dan alhamdulillah cuma butuh waktu satu minggu untuk ta'aruf, berjodohlah dia dengan Media Indonesia. Jodoh yang tidak pernah terbayangkan. Ya, bagaimana pun semua sudah ada yang atur kan???
Selamat membaca cerpen sederhana ini...
semoga terhibur..

 Terbit di Media Indonesia, 23 Juli 2017
Aku selalu menatap sayu matahari yang meluncur perlahan ke ufuk barat. Satu hal yang aku yakini bahwa matahari itu tidak terbenam, tapi berendam. Ia sengaja merendamkan dirinya dalam lautan karena kepanasan seharian memancarkan sinarnya.
Pernah suatu ketika aku berenang ke tengah lautan—menyelam jauh ke dasar laut, mencuri matahari yang sedang berendam. Tapi belum sampai beberapa jam, aku merasa kesusahan bernafas. Dan badanku terasa berat untuk digerakkan. Seolah ada tangan yang menahanku dan berangsur-angsur tangan itu menarikku jauh ke dasar lautan.
Aku tahu makhluk jenis apa yang menarikku. Kata orang, itu adalah hantu air. Aku mendengar cerita itu dulu. Saat berita duka yang membuatku mengubah cita-cita sederhanaku yang semula ingin menjadi guru di sebuah sekolah dasar menjadi pencuri matahari. Mungkin bagi anak-anak seusiaku, cita-cita memang seringkali berubah-ubah.
“Kenapa harus matahari, Ntur?” tanya guruku dengan nada yang aku tidak bisa mengartikannya. Yang jelas, nada bicaranya berbeda dari biasanya.
“Karena Ibu bilang matahari memancarkan cahaya sendiri.” jawabku biasa.
“Bintang juga memancarkan cahaya sendiri. Bintang banyak di langit. Jika kau mencurinya satu atau bahkan lebih, tidak ada yang tahu. Tapi jika matahari, saat kau mencurinya, orang-orang akan tahu.”
“Bintang tidak pernah turun ke bumi, Ibu. Aku juga tidak bisa memanjat langit. Aku tahu, bintang tidak pernah jatuh. Yang jatuh itu meteor.”
“Jadi kapan matahari jatuh ke bumi?”
“Pada saat sore dan pagi harinya. Sore ia akan berendam di lautan dan pagi sebelum ia terbit ia berada di pegunungan.” ujarku masih dengan nada biasa. Semua orang di dalam kelas itu tertawa mendengar jawabanku. Pun guruku. Aku tidak tahu kenapa mereka tertawa. Yang jelas aku dengar ada yang mengatakan kalau aku ada peningkatan dalam hal melucu sejak aku kehilangan ayahku.
*****
Setiap sore aku berenang ke tengah lautan. Tidak ada yang melarangku. Mereka hanya menatapku biasa. Seperti biasanya seseorang yang sedang melihat sapi memakan rumput. Tapi aku tidak pernah berhasil menemukan di mana tepatnya matahari itu berendam. Mungkin barangkali aku kurang jauh. Bahkan aku belum sampai pada pertengahan lautan.
Hingga di sore itu aku memaksakan diriku untuk terus berenang. Aku mengabaikan lelah yang menyerang seluruh tubuhku sampai akhirnya aku tidak merasakan apa-apa lagi. Hanya kaku. Aku rasa aku sudah mati saat itu.
Tapi malamnya saat aku terbangun, aku menatap sekeliling. Bukan tanah yang berada di sampingku. Tidak ada cacing atau kalajengking yang bersiap menyantap tubuhku. Aku tidak berbaring di atas tanah dan dihimpit oleh tanah juga. Aku berbaring di atas dipan, tempat di mana aku biasa tidur. Seingatku, aku telah mati tadi sore di lautan. Aku tidak tahu kenapa aku berada di sini sekarang. Aku berjalan menuju kamar ibu. Aku lihat ibu sedang tertidur pulas. Aku urung membangunkan ibu. Setidaknya saat tidurlah ibu terlihat lebih tenang.
Besok paginya aku tanyakan pada ibu perihal kejadian semalam. Ibu hanya menggeleng sambil mengatakan dua kata ‘tidak tahu’. Dan sejak saat itu pula aku mengubah ruteku. Aku tidak lagi mencari matahari saat sore. Saat ia membenamkan dirinya dalam lautan. Aku mulai mencarinya saat subuh, saat ia bersiap-siap terbit di ufuk timur.
*****
Hari itu sekitar jam tiga pagi aku telah bangun. Aku melihat ibu ke kamar. Ibu masih tidur nyenyak. Bukan takut ketahuan oleh ibu dan akhirnya ibu melarangku untuk mencari matahari, tapi aku takut langkah kakiku akan membangunkan ibu dari tidurnya. Sehingga aku usahakan untuk sepelan mungkin melangkah dan menutup pintu kembali.
Ini adalah pertama kalinya aku keluar saat malam. Di luar masih gelap. Hanya ada hening dan kesunyian. Barangkali jam segini orang-orang sedang nyenyak dalam tidurnya. Atau mungkin ada sebagian orang yang taat, ia sedang beribadah menghadap Tuhan mereka. Malam memang waktu yang tenang untuk beribadah. Tapi aku malah keluar dan mencari matahari.
Aku menjadi anak yang pemberani kecuali perihal bicara. Akhir-akhir ini frekuensiku bicara semakin berkurang. Aku hanya berpikir dan berpikir.
Tidak jauh perjalanan yang aku tempuh. Cahaya matahari berangsur-angsur mulai menyelimuti bumi. Aku rasa aku kurang tepat dalam menghitung waktu. Jika besok aku ingin menemukan matahari, mungkin aku harus berangkat lebih cepat dari hari ini. Aku tidak mungkin mencuri matahari yang sudah tinggi di atas langit. Aku tidak punya tangga untuk ke langit. Seandainya ada, orang-orang pasti akan membunuhku karena mereka juga tidak akan mau kehilangan matahari dalam hidupnya.
Hingga suatu ketika, aku mulai berangkat saat pagi. Aku menghabiskan beberapa hari di perjalanan. Aku telah berjalan jauh. Dan aku sudah tidak pulang ke rumah dalam waktu yang lama. Ibu tidak akan kehilanganku. Saat aku pulang, ibu juga tidak akan pernah bertanya ke mana aku selama ini. Jadi aku tidak perlu mengkhawatirkan banyak hal.
Aku memasuki hutan demi hutan. Aku memakan apapun yang bisa dimakan. Aku menghindar dari binatang buas untuk menyelamatkan diriku agar tidak menjadi santapannya. Tapi tubuhku mengenal lelah juga. Hingga akhirnya aku terkulai lelah dan tertidur entah dalam waktu berapa lama. Saat aku terbangun, seekor singa telah menatapku dengan tatapan kelaparan.
Aku berlari sekuat tenaga. Singa mengejarku dengan lari yang tak kalah cepat. Dengan tubuh yang lelah, setidaknya aku hanya tidak boleh membiarkan diriku menyerah begitu saja. Mungkin menunda waktu makan singa, begitulah yang aku lakukan saat ini. Dan saat aku menoleh ke belakang untuk memastikan seberapa dekat jarak singa itu dariku, sesuatu menghalangi kakiku hingga membuat tubuhku terjatuh. Pandanganku mulai kabur. Aku masih bisa melihat singa yang dengan gagah menghampiri tubuhku yang lemah.
Di saat-saat gentingku, hanya satu hal yang bisa aku ingat. Ya, pesan ibu dulu saat ayah masih berada di antara kami. Ibu menyuruhku untuk rajin belajar supaya kelak bisa mendapatkan pekerjaan selain menjadi nelayan yang hanya mempertarungkan nyawanya. Tapi ibu tidak ingat satu hal, di atas rencana kehidupan yang seolah telah digambar ibu untukku, masih ada Tuhan yang mengatur tentang takdir manusia. Dan buktinya, aku hanya bisa bersekolah sampai sekolah dasar lantaran ayah mengakhiri ajalnya hanya dengan segulung ombak besar yang menerjang perahunya.
Sejak kepergian ayah yang ibu sendiri tidak menguburkan jasadnya layaknya orang lain, ibu menjadi perempuan tercengeng yang pernah aku temui. Dunia ibu terlihat gelap. Dan aku rasa ibu telah kehilangan matahari di matanya.
Setiap malam ibu menangis. Aku bertanya pada ibu kenapa ibu tidak berhenti saja menangis. Lagian ayah juga tidak akan kembali sekuat apapun ibu menangis. Walau aku hanya menduduki kelas lima saja, setidaknya aku pernah belajar kalau orang mati itu tidak akan pernah hidup lagi. Tapi ibu tidak pernah menjawab pertanyaanku. Ibu hanya terus menangis. Aku bahkan yakin telah memakan nasi yang di campur dengan air mata ibu.
Aku seolah menjadi seseorang yang bernyawa tapi tak berjasad. Aku seolah menjadi seseorang yang memiliki mulut untuk bicara, tapi tak pernah didengar. Aku muak. Dan sejak saat itu aku menjadi anak lelaki pemurung yang lebih memilih diam daripada bicara tapi lebih sering meneteskan air mata.
Tapi di sore yang aku sendiri tidak tahu harus aku bilang apa, ibu kembali dengan mata yang tidak lagi memancarkan kesedihan. Ibu tersenyum menatapku. Dan berjalan menujuku yang saat itu telah berdiri di halaman rumah dengan pakaian yang sangat kotor.
“Kau darimana saja, Ntur?” ujar ibu dengan nada lembut sambil membelai rambutku yang kotor dan mungkin berbau busuk. Aku hanya diam.
“Kau baik-baik saja?” ibu bertanya lagi padaku.
“Kau lapar?” Semakin banyak pertanyaan yang keluar dari mulut ibu. Dan kau tahu, aku hanya bisa menjawabnya dengan anggukan dan gelengan. Mungkin sesekali mengatakan iya atau tidak.
Aku pikir, ibu tidak akan pernah membaik. Tapi aku lupa, luka seiring berjalannya waktu pasti akan kering. Dan aku yakin luka ibu sudah mulai membaik. Aku bahagia. Setidaknya aku tidak perlu lagi mencuri matahari untuk ibu karena matahari itu telah bersinar kembali di mata ibu. Tapi aku rasa, aku tidak bisa lagi menjadi anak lelaki periang. Aku sudah terbiasa dengan sifat bekuku.
Aku hanya menatap ibu datar. Ibu mengajakku masuk. Saat itu mataku menemukan seorang lelaki yang sedang berdiri di pintu rumahku. Ia menatapku tersenyum. Aku hanya diam. Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa. Aku tidak bicara atau bertanya. Aku hanya mencoba berpikir. Sudah berapa lama aku pergi? Aku bahkan tidak bisa mengingatnya.

Padang, 2017







Tuesday, April 25, 2017

Rindu Rumah

Singgalang, 23 April 2017 Oleh : Irepia Refa Dona

Satinggi-tinggi tabangnyo bangau, baliaknyo ka kubangan juo. Abah sering kali mengatakan itu setiap kali Zea mengatakan kalau ia benci tinggal di kampung halaman. Banyak hal yang membuatnya sakit. Meski kadang luka tidak berdarah, namun kau tahu, luka dalam yang tidak tampak itu jauh lebih parah. Namun petuah Abah, yang juga sering ia dengar dari lagu minang itu, tidak pernah bisa ia lupakan. Abah benar. Sejauh apapun kakinya melangkah, namun naluri rindu rumah selalu menghantuinya. Setiap kali memasuki puasa atau lebaran. Setiap kali rekan kerjanya membuat rencana untuk pulang, setiap itu pula Zea selalu teringat kata-kata Abahnya. Namun seberapa besar pun ia rindu rumah, seberapa besar pun ia ingin pulang, ia tidak tahu lagi, rumah mana yang ia rindukan? Ke mana ia akan pulang? Kubangan itu, ia rasa tidak ada lagi.
*****
“Tahun ini kau tidak pulang lagi, Ze?” Zea membaringkan badannya di atas kasur tipis berseprai hijau. Ia selalu menyukai warna hijau. Warna hijau bagaikan pemandangan di kampung halamannya. Pemandangan tentang bukit yang ditumbuhi pepohonan. Pemandangan tentang sawah yang terbentang luas. Pertanyaan Didi siang tadi masih terngiang di telinganya. Ini bukan pertanyaannya pertama kali. Setiap tahun, tidak hanya Didi, bahkan teman yang lainnya juga bertanya perihal itu.

Tidak banyak yang tahu tentang Zea. Bagi Zea, tidak ada baiknya orang terlalu banyak tahu perihal kehidupan kita. Tentang anak perempuan satu-satunya. Tentang luka yang digoreskan oleh sanak saudaranya. Tentang rencana Zea yang ingin menghilang dari kehidupan sanak saudaranya. Namun bagaimanapun Zea mencoba menghilang, hubungan kekeluargaan itu datang secara alamiah.

“Seberapa besar pun mereka menyakiti kita, namun mereka tetap keluarga kita, Ze. Kau tidak bisa dengan mudahnya memutus hubungan kekeluargaan. Keluarga tetap keluarga sekalipun mereka lebih terlihat seperti musuh.”

Zea memukul-mukul dadanya keras. Matanya merah mencoba menahan tangis yang jika dilepaskan pasti akan meledak. Lama sekali rasanya ia tidak menangis. Lama sekali ia menahannya. Sejak terakhir kali, saat ia memutuskan menjual rumah peninggalan orangtuanya. Harta warisan satu-satunya. Keputusan paling sulit saat itu. Rumah yang seharusnya tidak dijual. Rumah yang akan menjadi tempat atau tepatnya alasan untuk ia pulang. Tapi saat itu ia menjualnya. Tangisnya pecah. Membasahi uang hasil penjualan rumah orang tuanya.

“Maafkan aku Abah, Emak.” Zea terisak. Menghapus kasar air mata yang mengalir di kedua pipinya. “Jika kau marah, maka kutuklah aku dari atas sana. Aku rasa, aku tidak punya pilihan lain.” Zea membaringkan badannya sembarang di lantai kontrakannya. Setelah menjual rumah orangtuanya, ia memutuskan untuk pergi dari kampung halamannya. Merantau jauh. Tidak ada yang bertanya kemana ia pergi. Semua sanak saudaranya marah saat tahu kalau ia menjual rumah orangtuanya. Berbagai umpatan datang silih berganti. Namun Zea tahu, mereka hanya marah, bukan peduli. Biarlah merasakan sakit sebentar dari pada sakit lama jika harus tinggal di kampung halaman. Begitu yang ada di pikiran Zea saat itu. Dan dia tidak pernah menyesali keputusannya.

Setiap kali Zea merindukan kampung halamannya, setiap kali itu pula ia akan mengingat kembali perilaku sanak saudaranya padanya. Semenjak Emaknya meninggal karena sakit paru-paru, Abah sering sakit-sakitan. Abah tidak memiliki banyak harta. Sawah satu-satunya yang dimiliki Abah telah dijual saat mengobati Emak. Abah hanya bekerja di ladang orang. Saat itu Zea baru SMA. Ia lebih sering membantu orang-orang membelah pinang. Kemudian ia akan diberi sedikit uang. Uang itulah yang sering digunakan sebagai uang sakunya ke sekolah. Upah Abah bekerja di ladang orang hanya cukup untuk biaya sehari-hari dan terkadang membeli obat Abah.

Namun Abahya sakit parah. Ia harus dirawat di rumah sakit. Tidak ada cara lain yang bisa dilakukan Zea selain datang pada sanak saudaranya. Kata-kata penuh permohonan masuk telinga kiri keluar telinga kanan bagi sanak saudaranya. Air mata terbuang sia-sia. Bukan belas kasihan ia dapatkan, tapi umpatan yang membuat sakit tambah parah. Bagai luka bakar yang disiram air garam. Pedih.

“Itu sebabnya selagi muda bekerja dengan keras. Kau pikir kau akan sehat selamanya. Lihat, sakit seperti ini kau butuh banyak uang. Coba kau punya sapi untuk dijual. Tapi apa yang kau punya? Siapa yang mau membeli kucing hitam jelek yang kau pelihara itu?”

“Kami juga tidak punya uang, Ze.  Bahkan untuk makan sehari-hari saja susah. Kau lihatlah Mak Etek kau, makin hari makin kurus saja.” 

“Aku lagi butuh banyak uang, Ze. Raka sebentar lagi wisuda. Tidak mungkin uang wisuda Raka dipakai dulu. Nanti kalau kau belum bisa bayar, kasihan Raka.”

Ada banyak penolakan yang didengar Zea. Penolakan dengan berbagai alasan. Walau kadang alasan itu sangat sulit diterima Zea. Tapi apalah dayanya. Ia tidak bisa memaksa. Ia hanya harus menerima. Bahkan ia harus menerima takdir, setelah ia menggadaikan rumahnya untuk mengobati Abahnya, Abahnya pergi untuk selamanya. Abah sudah melarangnya untuk mengobatinya. Namun Zea merasa, hatinya tidak bisa menerima kalau Abah hanya dibiarkan tanpa sempat berobat. Dia tidak sanggup melihat Abah yang hanya terbaring seolah hanya menunggu ajal. Tanpa ada harapan untuk sembuh.

“Begitulah kehidupan Zea. Kau tidak perlu heran. Saat kau kaya, bahkan sehasta akan menjadi sejengkal. Tapi saat kau miskin, sejengkal akan jadi sehasta. Saat kau miskin mereka akan menganggapmu keluarga tidak, sanak pun haram. Begitu yang akan kau alami. Itu sudah hukum alam. Bagaimana hukum alam akan berlaku padamu, itu tergantung bagaimana cara kau hidup. Hiduplah dengan baik.”

Abah menutup mata untuk selamanya. Zea tidak menangis, tapi dadanya serasa disesaki sesuatu. Berdesakan ingin keluar. Sebagai anak ia merasa gagal. Berbagai pertanyaan muncul di kepalanya. Pernahkah ia membuat Abah dan Emaknya bahagia walau sesaat? Pernahkah mereka bersyukur karena telah memilikinya? Lama Zea terpuruk. Ucapan belasungkawa dari sanak saudaranya datang silih berganti. Namun ia tidak lagi mengharapkan itu. Ucapan itu sedikit pun tidak membuatnya terhibur. Dapatkah ucapan itu membawa Abahnya kembali?

Rumah terasa sepi. Belasungkawa hanya berlangsung satu hari di mata orang-orang. Meski itu hanya diperlihatkan dari cara mereka berpakaian dan raut wajah mereka yang entah itu benar entah tidak. Tapi belasungkawa terus berlangsung di hati Zea. Bahkan sebulan setelah kepergian Abahnya. Dan setelah sebulan itu, ia memutuskan menjual rumah yang telah digadaikan itu.

Betapa besar rasa bersalah Zea. Ia tidak bisa tidur dengan nyaman. Setiap kali ia mencoba memicingkan matanya, ia teringat kembali tentang Abah dan Emaknya. Tentang rasa kecewa mereka karena telah menjual rumah satu-satunya kenangan yang tersisa. Hingga saat malam itu, saat ia terlelap dalam lelahnya, ia bermimpi kalau Abah dan Emaknya mendatanginya dengan pakaian serba putih. Mereka membelai lembut rambut Zea. Kemudian mereka tersenyum dan pergi bersama cahaya yang menelan tubuh mereka. Zea terbangun. Di dapatinya lampu kontrakkannya mati. Ia tidak mempedulikan gelap. Ia memegang kepalanya. Seolah merasakan tangan Abah dan Emaknya masih menempel indah di kepalanya. Sejak saat itulah Zea yakin kalau orangtuanya tidak menyalahkan keputusannya.
*****
“Lebaran kali ini aku akan pulang.” Pagi senin yang sibuk seketika berubah menjadi hening dan lengang. Suara-suara bising yang semula mengisi ruangan kerja itu seketika menghilang bagai ditiup badai. Semua mata beralih kepada sumber suara yang sangat mereka kenali. Sudah hampir sepuluh tahun si pemilik suara bekerja di sini. Siapapun pasti hafal dengan suaranya.

“Kau sakit, Ze?” Didi memegang kening Zea. Sudah hampir sepuluh tahun Zea bekerja, baru kali ini ia mendengar Zea mengatakan kalau ia akan pulang. Biasanya lebaran selalu dihabiskan untuk bekerja. Bahkan Didi dan yang lainnya pernah mendapatkan jatah libur Zea yang diberikan Zea secara sukarela.

“Aku rindu rumah.” Suara Zea tertahan. Baru kali ini ia mengatakan rindu rumah. biasanya bicara tentang rumah selalu ia hindari. “Ya, aku sangat rindu rumah.” semua terdiam mendengar ucapan Zea. Mereka seolah dapat merasakan betapa Zea merindukan rumah. Zea tersenyum melihat ekspresi rekan-rekannya. Ia bahagia. Apalagi mendengar kabar tadi malam. Pak Kadir yang membeli rumahnya menghubunginya tadi malam. Ia bertanya soal sisa uang penjualan rumah apakah sudah habis atau belum. Selama ini Zea menyimpan uang itu. Hanya memakainya sedikit saat ia belum mendapatkan pekerjaan. Dan sekarang uang itu sudah banyak terkumpul ditambah juga dengan uang gajinya. Pak Kadir bilang, kalau ia sudah punya cukup uang, ia bisa mengambil rumahnya kembali. Betapa senangnya hati Zea, ternyata masih ada orang yang berbaik hati. Pak Kadir yang bukan keluarganya.

Sejak saat itu Zea bekerja makin giat. Ia membayangkan lebaran kali ini ia bisa melihat rumahnya. Tidak. Rumah Pak Kadir. Dia akan pulang satu hari saja tanpa seorang pun dari sanak saudaranya mengetahui. Bahkan Pak Kadir mungkin tidak akan mengetahuinya. Ya, mungkin ia hanya akan melihat rumah yang ia rindukan dari kejauhan sambil mengatakan, kalau ia sudah punya cukup uang, ia akan mengambil rumah itu kembali.

 Padang, April 2017

baca juga Undangan