ALARM REYHAN
Irepia Refa Dona
Terbit di singgalang 05 Juni 2016
Langkah kaki terdengar memasuki rumah kecil yang dulu dihuni oleh Bu Meira. Bunyi itu berasal dari getaran sepasang sepatu yang berwarna hitam. Sepertinya si pemilik sepatu baru saja membelinya atau bisa jadi sepatu itu baru siap disemir. Sepatu hitam mengkilap. sepatu itu milik seorang laki-laki berusia sekitar setengah abad. Di tangannya terdapat tas berbentuk persegi dengan merk yang cukup terkenal saat ini. Sepertinya tas tersebut berisi sebuah laptop. Laki-laki itu memasuki rumah Bu Meira dengan langkah setengah tertahan.
Langkahnya terhenti
saat sampai di dekat sebuah meja yang dilengkapi kursi. Dibukanya jendela.
Pemandangan yang sama dengan tujuh tahun yang lalu. Dia meletakkan tasnya di
atas meja, tidak peduli terhadap kabut yang bersemayam di atas meja tersebut.
Matanya yang sayu menatap keluar jendela yang berada tepat di depan meja itu.
Menatap jauh. Pandangannya kosong. Seakan ingin menemukan sesuatu yang dulu
pernah ada.
Beberapa saat kemudian,
air menetes dari ujung kedua matanya. Tidak ada angin yang menyebabkan matanya
berair. Tidak ada hujan yang membasahi pipinya. Air itu dibiarkan menetes
sampai melewati bibirnya. Perlahan kepalanya direbahkan ke meja, beralaskan tas
yang di bawahnya tadi. Entah berapa lama dia berada dalam posisi seperti itu.
*****
“Rey, Ibu tahu sekarang
jadwal kamu menonton. Tapi Ibu mohon, jangan menonton sambil tiduran!” Suara Bu
Meira mengejutkan Reyhan. Reyhan adalah putra semata wayangnya. Meski
dibesarkan tanpa sosok Ayah yang mendapinginya, dia tetap tumbuh menjadi anak
yang baik dan penurut. Dia tidak pernah membantah perkataan Ibunya.
Dari Sekolah Dasar
sampai kelas tiga SMP, dia selalu mendapatkan juara umum. Tidak pernah
terlambat datang ke sekolah. Tugasnya
selalu siap bahkan jauh hari sebelum di kumpulkan. Sepulang sekolah langsung
pulang. Tidak ada kata pergi bermain dengan temannya. Karena hal itulah Reyhan
tidak memiliki banyak teman.
Spontan Reyhan langsung
duduk mendengar teriakan ibunya tadi. Dia menggeleng-geleng sendiri sambil
memikirkan bagaimana Ibunya bisa tahu kalau dia sedang nonton.
“Naluri seorang Ibu itu
sangat kuat Reyhan. Ada ikatan bathin antara Ibu dan anak.” Lagi-lagi Reyhan
mengerutkan kening. Terbentuk beberapa lipatan di keningnya. Seperti kain
keluar dari mesin cuci.
“Apa Ibu hantu?” Suara
Reyhan terdengar gelagapan. Antara ingin keluar dengan tidak.
“Apa kamu mendo’akan
Ibu mati?” Reyhan terkejut mendengar pertanyaan Ibunya barusan. Dia buru-buru
menjawab pertanyaan Ibunya, kalu bukan itu yang dia inginkan. “Kalau kamu tidak
ingin Ibu mati,cepatlah belajar! Waktu menontonmu sudah habis.
Reyhan menghela nafas
dalam, saat mengetahui Ibunya lagi memasak. Kepalanya dipenuhi oleh
pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan tentang Ibunya. Bagaimana mungkin Ibunya
hafal setiap jadwal yang telah diatur untuknya. Tanpa terlewat satu menitpun.
Bahkan saat Ibunya sedang memasak. Reyhan duduk di kursi dekat meja belajarnya.
Mengambil buku pelajaran. Dia tidak ingin lagi Ibu kembali memangilnya karena
hanya duduk dan memandang ke luar jendela. Karena dia yakin, dia pasti akan
ketahuan oleh Ibunya
Bu Meira saat ini sudah
berusia 45 tahun. Semenjak suaminya meninggal 10 tahun yang lalu, dia
membesarkan Reyhan sendirian. Dia beternak ayam untuk menyambung hidupnya. Dia
juga membuat makanan, kemudian di letakkan di warung-warung dekat rumahnya. Bu
Meira tidak pernah kekurangan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya sekolah
Reyhan. Hal itu juga disebabkan karena Bu Meira disiplin dalam segala hal.
Tidak hanya mengatur pengeluaran. Bahkan juga dalam mengatur jadwal Reyhan.
Bu Meira melakukanya
karena dia ingin Reyhan menjadi orang yang sukses. Jika nanti dia sudah tidak
ada lagi di dekat Reyhan. Dia tidak akan lagi cemas meninggalkan Reyhan. Jika
nanti ia pergi untuk selamanya. Dia bisa pergi dengan tenang. Karena itulah dia
selalu mengatur jadwal Reyhan, anak kesayangannya.
Pada saat Reyhan masih
anak-anak, dia masih terima di atur seperti itu oleh Ibunya. Tapi pada saat dia
mulai remaja, saat dia mulai bergaul dengan teman-temannya, saat Ibunya tidak
lagi mengantarnya ke sekolah, Reyhan mulai protes pada Ibunya.
“Ibu, besok aku mau
pergi berenang ke laut dengan teman-temanku.” Tapi... kamu tidak bisa berenang
Reyhan.”
“Justru itu Ibu. Semua teman-temanku
sudah bisa berenang. Sedangkan aku?”
“Jika kamu ingin belajar berenang, Ibu
akan mencarikan pelatih renang untumu. Kamu bisa...”
“Aku muak dengan segala
jadwal yang Ibu buat untukku.” Reyhan memotong ucapan Ibunya dengan nada yang
tinggi. Dia bergegas menuju kamarnya. Tanpa menghiraukan Ibunya. Baru kali ini
Reyhan membantah kata Ibunya. Bu Meira menghela nafas dalam. Terpaku seperti
kehabisan energi untuk bergerak. Dia berjalan tertaih-tatih menuju sebuah
almari kecil keluarganya. Mencoba mencari sesuatu dengan tangan yang mulai
bergetar. Sebuah kotak kecil di ambil dari dalam almari. Dia membuka tutup
botol dengan tangan yang masih bergetaran. Di keluarkan beberapa butir pil. Dan
membawannya menuju meja makan. Menuangkan segelas air. Kemudian menelan pil
tersebut. Entah itu pil apa. Tidak ada yang tahu. Bahkan reyhan putra semata
wayangnya.
Pagi-pagi sekali Reyhan
berjalan keluar dari kamarnya. Dia berjalan dengan hati-hati. Berharap langkah
kakinya tidak terdengar oleh Ibunya. Tiba-tiba dia berhenti. Dia mulai heran.
Kenapa suara Ibunya tidak kedengaran. Berbagai pertanyaan muncul di kepalanya.
Mungkin Ibunya sedang mandi. Tidak mungkin. Dia membantah sendiri jawabannya.
Apa Ibu lagi ke pasar. Ini bukan jadwal Ibu ke pasar. Seharusnya Ibunya
sekarang sedang memasak, tapi dia tidak mendengar suara dari dapur. Dalam hati
dia berkata, mungkin ini jalan dari tuhan agar dia bisa pergi.
“Reyhan, hati-hati di
jalan nak!” Reyhan terhenti sejenak. Kemudian menghadap ke dapur. Ingin minta
izin pada Ibunya. Tiba-tiba dia menggeleng sendiri. Dia berbicara sendiri.
Tidak mungkin Ibunya mengizinkannya keluar. Mungkin itu hanya harapannya saja.
Berharap bisa mendengar ucapan itu dari Ibunya.
Minggu pagi pantai
terlihat sangat ramai. Anak-anak SD bermain bola didampingi Ibunya. Sesaat aku
teringat pada Ibu. Dulu aku sering bermain dengan Ibu di pantai. Meski Ibu over
protektif, tapi ibu selalu ada waktu untuk bermain denganku saat hari libur.
sedang apa Ibu sekarang? Mungkin Ibu sedang mempersiapkan kalimat untuk
memarahiku nanti. Reyhan memejamkan matanya. Entah apa yang bersemayam di
kepalanya. Sesaat matanya terbuka.
“Aku bebas...” teriakan
Reyhan spontan membuat anak kecil yang bermain disampingnya berlari menuju
Ibunya. Dia buru-buru minta maaf. Karena memang tidak bermaksud membuat anak
itu terkejut.
Reyhan terkejut dan menoleh
ke arah seseorang yang menyentuh pundaknya. Ternyata Ferdi temannya.
“Apa kamu fikir Ferdi
Ibumu? Mikel bertanya dengan nada cemooh. Reyhan tidak menjawab. Dia hanya
mencibir. Dalam hati tadi dia memang merasa kalau itu adalah Ibunya. Karena
menurutnya tidak mungkin Ibu akan membiarkannya bebas.
Pantai kelihatan mulai
sepi. Matahari sudah tegak setinggi tombak. Beberapa jam kemudian, seseorang
datang memanggil Reyhan. Bang Mail. Bang Mail adalah seorang tukang galon
langganan Ibu.
“Ada apa Bang?” Reyhan
menyodorkan pertanyaan tanpa memberi kesempatan Bang Mail untuk menghela nafas.
“Ibumu...”
“Apa Ibu marah karena tahu aku kabur
dari rumah Bang?
“Ibumu....” Air mata jatuh dari
ujung-ujung mata Bang Mail. Membasahi pipinya. Reyhan terdiam. Jantungnya terasa
sesak. Bagaikan sebuah batu besar masuk ke dalam dadanya. Dunia seolah-olah
berhenti berputar. Deburan ombak tak terdengar lagi. Hilang bagai ditelan
bentangan pasir.
Di depan rumah Reyhan
telah berdiri bendera hitam. Warga telah memenuhi rumah nya. Seorang wanita
separuh baya menghampirinya. Bi Aini. Adik Ibunya. Dia merangkul Reyhan dan
membisikkan agar Reyhan tetap sabar. Reyhan mendekati tubuh Ibunya yang
terbujur kaku di atas kasur di ruang tengah rumahnya. Air matanya tidak menetes
sedikitpun. Tapi dari wajahnya terlihat, betapa sesak di dalam dadanya.
“Reyhan memang berbeda
dari anak lainnya. Dia tidak menangis sedikitpun.” Bisikan tetangga yang
berdiri di belakangnya terdengar sayup-sayup sampai. Salah satu tetangga
membelahnya dan mengatakan bahwa itu menandakan petapa dalam kesedihan yang dia
rasakan. Bahkan tangis yang tertahan itu lebih menyakitkan.
Reyhan masih terdiam
dalam kesedihan. Dia tidak bicara sepatah katapun. Bahkan sampai jenazah Ibunya
di bawah ke liang lahat. Saat jenazah Ibunya akan di masukkan ke liang lahat,
saat itulah Reyhan tidak sanggup menahan air mata yang membendung di matanya.
Reyhan memegang jenazah Ibunya. Mencegah agar jenazah Ibunya tidak di masukkan
ke liang lahat.
“Ibu, bagaimana Ibu
akan mengontrol jadwalku, jika Ibu tidak berada dalam rumah yang sama
denganku?” Reyhan terus memegangi jenazah Ibunya. Dia meronta agar jenazah
Ibunya tidak di masukkan ke liang lahat. Beberapa warga memegangi Reyhan yang
meronta begitu kuat. Bi Aini mencoba menenangkan Reyhan.
“Jika Ibu tidak tinggal
satu rumah denganku, aku akan terus bermain. Aku tidak mau lagi belajar.”
Reyhan terus mengoceh. Berharap ibunya bisa mendengarnya. Tapi sayang sekali,
itu semua hanya harapan yang tidak mungkin terjadi.
Warga sudah mulai pergi
satu persatu. Sekarang tinggal Reyhan dan Bi Aini. Bi Aini adalah satu-satunya
keluarga yang dimiliki Reyhan sekarang. Semenjak ayahnya meninggal, keluarga
ayahnya tidak pernah mengunjungi Reyhan dan Ibunya. Entah apa sebabnya.
Malam terasa begitu
panjang. Langit gelap. Tidak ada satupun bintang di langit. Disini tidak ada
meja belajar. Dan yang pasti tidak ada suara Ibu. Dulu Reyhan sering
menyebutnya alarm Reyhan. Biasanya jam segini sudah berbunyi, Reyhan, sudah
larut malam. Saatnya tidur.
Semenjak Ibunya meninggal,
Reyhan tinggal di rumah Bibinya. Dia membantu Bibinya bekerja. Dia tidak lagi
hidup dengan jadwal yang di buat Ibunya. Dia memiliki banyak waktu kosong
sekarang. Sesuai apa yang selama ini menjadi harapannya. Tapi Waktu itu
terbuang percuma. Sepanjang hari, jika tidak ada kerjaan Reyhan lebih memilih
tidur dan kadang bermenung.
Sekarang Reyhan sudah
mulai sekolah kembali. Hari-hari yang dijalani selalu terasa kosong. Terasa ada
yang di bawa pergi oleh Ibunya. Jika saja dia menyadari, bahwa kekosongan itu
bukan karena Ibunya membawa sesuatu miliknya, tetapi karena dia tidak melakukan
sesuatu yang sudah biasa dia lakukan, mungkin kekosongan itu tidak akan
menghampirinya.
Beberapa bulan pun
telah berlalu. Reyhan sudah kelihatan sibuk. Tidak ada waktu untuk bermenung.
Dia kembali menempel jadwal yang telah ditulis Ibunya. Dengan jadwal itu, dia
menjalani sekolah sampai kuliah dengan baik. Sekarang dia sudah manjadi manager
di sebuah perusahaan. Baginya, hidup disiplin itu merupakan kunci kesuksesan.
*****
Air mata yang menetes
dari ujung kedua matanya belum juga dihapus. Tiba-tiba mulutnya melengkung
membentuk senyuman. Dari pipinya terlihat lesung pipit warisan dari Ibunya.
Terdengar satu kata keluar dari mulutnya. Ibu. Dia melihat Ibunya yang
tersenyum menghampirinya. Dengan pakaian serba putih. Ibunya terlihat bahagia.
Ibunya terlihat cantik. Lagi-lagi dia berkata. Terima kasih telah mengajarkan
aku disiplin. Terima kasih telah mengatur waktuku, dan terima kasih atas
segalanya Ibu. Kesuksesan ini adalah hadiah terbesar Ibu. Sekarang aku
mengerti, bahwa apa yang Ibu lakukan adalah untuk kebaikanku.
“Reyhan, jangan tidur
seperti itu! Nanti lehermu bisa sakit.” Mendadak kepalanya kembali tegak.
Matanya terbuka lebar. Dia menoleh ke sekeliling kamar, kamar yang dulu adalah
miliknya. Dia beranjak dari tempat duduknya. Mencoba mencari sekeliling sumber
suara itu. Entah berapa lama ia mencari. Tapi yang dicari tidak bisa
ditemukannya.
Dia kembali menutup
jendela rumah Bu Meira, Ibu yang selalu dia rindukan. Ibu yang bahkan sampai
sekarang masih menjaganya. Meski dia mulai tidak tahu membedakan antara mimpi
dengan kenyataan.
Padang, 27 Mei
2016
Irepia Refa
Dona, Sarjana Fisika Universitas Negeri Padang.
Anggota Forum
Lingkar Pena Sumatera Barat
mantap,teruslah berkarya.....
ReplyDeleteTq tlah berkunjung ekri. aamiin.
ReplyDeletehehehehe
Deleteaku beharap reyhan itu ganteng dan cool...
ReplyDelete:)
aku beharap reyhan itu ganteng dan cool...
ReplyDelete:)
semoga
DeleteKk q mau kirim puisi ku
ReplyDeleteDengarkanlah
Karya:nahgawana Tirta surya
Semalam aku mendengar
Nyaring di telinga ku
Tentang nada-nada indah
Biola ,yang membuatku berdansa
Bersama cinta mu ,yang telah terkubur ...
Dalam alunan kehidupan
Setelah ,ku dengar tentang itu
Cuman doa yang bisa ku panjatkan
Tentang semua yang telah terjadi