Terbit di Radar Bromo 22 Januari 2017
Akhirnya aku berhasil move on dari
Singgalang. berhasil move on bukan berarti aku melupakan Singgalang seperti
yang dilkukan orang-orang pada mantan kekasihnya :D. Tapi bagiku, karena
Singgalang lah aku bisa menemukan yang baru.
Jika diibaratkan aku sedang tersesat
di hutan saat malam menjelma gelap pekat, tapi di langit masih
bertaburan banyak bintang. Ada bintang-bintang yang bercahaya sangat terang,
ada bintang yang bercahaya sedang, dan mungkin jika aku perhatikan dengan
seksama akan ada bintang yang bercahaya redup. Salah satu bintang itulah yang
membawaku keluar dari gelapnya hutan. Dan jika aku boleh katakan, bintang
itulah Singgalang.
Singgalang menuntunku ke luar. Meski
aku tidak yakin kemana ia akan menuntunku, tapi aku sangat berterima kasih.
Soal kemana arahku setelah keluar dari hutan yang gelap itu, keputusannya ada
padaku, itu adalah bagaimana aku melangkah nantinya.
Jika diibaratkan remaja
yang sedang jatuh cinta, Singgalang adalah cinta pertamaku. (:D Sedikit lebay
tak apalah. Jangan katakan aku terlalu aneh. Cukup tertawa saja sendiri. Selagi
aku tidak tahu kalau orang sedang menertawakanku, menurutku itu tidak masalah.)
Ya udah, selamat membaca cerpen di
Radar Bromo
Perempuan Pendongeng
Oleh : Irepia Refa
Dona
Kau bisa meminta dibacakan
puisi setiap saat jika kau menikah dengan seorang penyair. Kau bisa dinyanyikan lagu kapan pun jika kau menikah
dengan seorang yang pandai bernyanyi. Dan kau juga bisa pergi kemana pun jika
kau menikah dengan orang yang suka travelling.
Bagaimana dengan Yurike? Gadis pencinta dongeng sebelum tidur. Ah, dulu betapa
senangnya dia karena setiap malam suaminya selalu membacakan berbagai dongeng
kepadanya sebelum dia terlelap dalam pelukan suaminya. Karena ia menikahi
seorang lelaki pendongeng. Tapi ada saatnya pula ia harus mendongeng untuk
dirinya sendiri.
Dulu ibunya sangat khawatir
jika suatu saat dia menikah. Atau jika suatu saat ibunya meninggalkannya untuk
selamanya. Siapa yang akan membacakan putrinya dongeng sebelum tidur? Yurike
hanya tersenyum sambil memperolok ibunya di malam itu, kalau ibunya tidak
seharusnya mencemaskan hal itu. Ibunya seharusnya mencemaskan kalau bekalnya
untuk menghadap sang Pencipta masih kurang.
“Setelah kau mati, siapa
yang mendongengkan anakmu? Aku yakin, ibu tidak akan ditanya malaikat perihal
itu.” Ucap Yurike di suatu malam saat ibunya lagi-lagi mengkhawatirkan perihal
siapa yang akan mendongengkannya. Dia memang sudah terbiasa didongengkan
sebelum tidur. Bahkan sampai usianya dewasa, ia masih didongengkan ibunya. Dia
seperti orang kecanduan kopi. Atau seperti orang yang kecanduan merokok setelah
makan. Mungkin rokok bisa saja digantikan dengan permen oleh orang-orang. Tapi tidak
dengan dongeng menurut Yurike. Tidak ada yang bisa menggantikan dongeng.
Ayahnya seringkali protes
padanya saat ia menarik ibunya ke kamar. Dia sebenarnya sangat mengerti kenapa
ayahnya terus-terusan protes. Bagaimana ayahnya tidak protes, jika setiap malam
ia terus mengurangi jatah waktu ayahnya bersama ibunya. Ibunya selalu
bersamanya sebelum ia terlelap.
Dan diusianya yang ke dua
puluh tujuh tahun, kekhawatiran ibunya pun hilang saat seorang lelaki romantis,
lelaki pendongeng, datang melamarnya. Ibunya langsung saja merestui mereka saat
mengetahui kalau lelaki itu pandai mendongeng. Sambil tersenyum ibunya berkata,
bahwa sekarang ia bisa pergi dengan tenang. Yurike tidak mengubris ucapan ibunya
kala itu. menurutnya, ibunya mengatakan itu hanya karena dia terlewat senang.
Tapi ternyata, ibunya memenuhi ucapannya. Dan ia pergi setelah setahun
pernikahan Yurike. Pergi untuk selamanya. Selang beberapa bulan, ayahnya pun
pergi menyusul ibunya. Kini hanya tinggal Yurike dengan suami pendongengnya.
*****
Setiap malam ia selalu
mendengarkan dongeng suaminya. Bayi yang berada dalam perutnya pun terasa
menendang-nendang saat mendengarkan dongeng setiap malam. Dia sangat yakin,
kalau bayinya merasa bahagia mendengar dongeng setiap malam.
“Si kecil menendang lagi,
Bang. Dia pasti terlewat senang mendengar dongeng setiap malam.”
“Bagaimana kamu tahu kalau
dia senang, Dik. Jangan-jangan dia menendang petanda dia tidak suka mendengar
dongeng.” Yurike terlihat sedang menggunakan otaknya. Jangan-jangan suaminya
benar. Tapi sesegera mungkin ia hapus pikiran bodoh itu. Siapa pula yang tidak
suka mendengarkan dongeng. Pastilah itu karena dia bahagia.
“Mari kita tanya Dewa nanti
jika ia sudah besar. Aku yakin, aku pasti benar.” Dewa adalah nama bayi yang
telah mereka siapkan. Menurut hasil USG,
ia mengandung anak laki-laki. Karena suaminya suka memberi nama tokoh dalam
dongengnya dengan nama Dewa. Jadilah ia kasih nama anaknya Dewa. Dan suaminya
hanya menyetujui.
*****
Seperti yang diduga dulu,
Yurike melahirkan anak laki-laki. Dan anak itu ia beri nama Dewa. Setiap malam
ia selalu menidurkankannya dengan dongeng walau terkadang Dewa sering menangis
saat Yurike membacakannya dongeng.
Seiring berjalannya waktu,
kini Dewa telah mulai ia antarkan ke taman kanak-kanak. Setiap malam Dewa masih
tetap mendengarkan dongeng Yurike. Sampai suatu ketika, saat Dewa telah menduduki
bangku sekolah dasar, Dewa mengingatkan Yurike tentang keraguan suaminya saat
dulu Dewa menendang-nendang dalam perutnya saat dongeng dibacakan.
“Aku ingin punya kamar
sendiri, Ibu.” Di Sore yang cerah itu Dewa mendekati Yurike yang sedang
menjahit celana Dewa yang robek. Ini adalah permintaan pertama Dewa.
“Baru sebesar ini kau sudah
malu tidur sama ibu? Apa teman-temanmu menertawakanmu karena kamu masih tidur
sama ibu?” Yurike menimpali Ucapan Dewa sambil terus memasukkan benang ke
lubang penjahit.
“Tidak.”
“Terus Kenapa?” Ia menatap
Dewa yang sepertinya enggan untuk mengatakan apa yang sebenarnya ingin
dikatakan.
“Baiklah. Ibu akan
menyiapkan kamarmu.” Terlihat raut senang di wajah Dewa.
“Sebelum kau tertidur, ibu
akan ke kamarmu untuk mendongengkanmu.” Seketika raut wajah itu berubah jadi
cemberut. Ia menatap Dewa dengan seksama. Hati kecilnya bertanya-tanya, Ada apa
dengan ekspresi itu.
“Aku ingin punya kamar
sendiri karena aku tidak mau mendengar dongeng ibu lagi. Aku benci dengan
dongeng-dengeng itu ibu. Bukannya tertidur nyenyak. Dongeng-dongeng itu telah
membuatku susah tidur.” Yurike mengalihkan pandangan saat ia rasakan ada cairan
di ujung jarinya. Merah. Ternyata ia tidak sengaja menusuk tangannya sendiri
dengan jarum yang ia gunakan untuk menjahit.
‘Kekhawatiran suaminya terbukti. Andai saja
dia ada disini sekarang, mungkin dia akan mengatakan kalau aku salah bahwa bayi
kami terlewat senang saat mendengar dongeng. Ternyata Dewa sama sekali tidak
menyukai dongeng. Bagaimana pun, aku harus mengerti, setiap orang berhak
memilih apa yang disukainya. Aku tidak bisa memaksa anakku menyukai dongeng
hanya karena aku suka dongeng. Atau hanya karena almarhum ayahnya seorang
pendongeng.’ Yurike membatin saat mengingat permintaan Dewa siang tadi.
Sorenya ia bergegas membereskan
kamar baru untuk Dewa. Usai itu ia hanya bermenung di belakang rumah. Apa ia
marah pada Dewa? Tidak. Ia sama sekali tidak marah. Ia bermenung karena ia
hanya terpikirkan satu hal. Kepada siapa ia harus membacakan dongeng jika ia
ingin mendongeng? Haruskah ia mendongeng pada dinding yang tidak akan pernah
protes apakah dia akan menyukai atau tidak.
Saat sore menjelma jadi
gelap, Yurike selalu mondar-mandir. Ia tahu, Dewa pasti sedang bingung melihat
tingkahnya. Tapi bagaimana pun, ia harus melakukannya agar ia bisa berpikir
dengan baik. Begitu menurut hati kecilnya
“Ibu sedang apa?” Suara Dewa
menghentikannya saat putaran yang sudah tidak terhitung lagi.
“Ibu sedang berpikir Dewa.”
“Ibu berpikir tentang apa?
“Tentang kepada siapa ibu
mendongeng nanti malam. Kau pasti tidak mau mendengarkan dongeng ibu. Jadi ibu
harus mencari pendengar baru.” Dewa dengan pikiran polosnya ikut menatap ke atas
layaknya orang sedang berpikir.
“Rasanya ibu mau mati bila
setiap malam ibu tidak bisa membacakan dongeng yang sudah tersimpan rapi
diingatan ibu.”
“Dewa tahu, Ibu.”
“Tahu apa?”
“Ibu bisa mendongeng kepada
diri ibu sendiri. Bukannya ibu bisa mendengarkan dongeng ibu sendiri?” Sesaat
Yurike terdiam mendengar ide Dewa. Ia mencoba berpikir dengan seksama.
“Kau benar anak pintar.
Bukannya aku bisa mendongeng untuk diriku sendiri? Ah, betapa bodohnya aku
tidak terpikirkan soal itu.”
Dewa hanya tersenyum saat
melihat ibunya bertingkah layaknya teman sekolahnya yang sedang mendapat nilai
seratus. Betapa terlihat bahagia ibunya saat ini.
Mata Yurike berbinar-binar.
Satu hal yang ia pikirkan sekarang, berarti ia akan bisa membacakan sembari
mendengarkan dongeng tentang perempuan dengan segala keanehannya yang dibacakan
terakhir kali oleh suaminya. Itu adalah dongeng terakhir yang didengarnya dari
mulut suaminya malam sebelum kecelakaan besar itu terjadi. Baginya dongeng itu
seperti diciptakan khusus untuknya. Ia seperti Puti Sari yang menjadi tokoh
dalam dongeng itu. Puti Sari yang selalu ingin memeriksa kebun ayahnya demi
melihat penjaga kebun yang tampannya luar biasa.
Baginya dulu memang dia
menyukai dongeng. Tapi semenjak mengandung Dewa, bukan dongeng suaminya yang ia
sukai. Tapi bau badan suaminya saat ia berada dalam pelukannya sembari
tertidur. Betapa berbantal lengan suaminya adalah hal yang diidamkan saat itu.
Sehingga ia harus berpura-pura ingin dibacakan dongeng setiap malam. Agar
suaminya selalu berada di sampingnya mengantarkannya sampai ia terlelap. Sama
yang dilakukan Puti Sari. Dan selama ini ia tidak bisa menceritakan dongeng itu
pada Dewa yang masih anak-anak.
“Baiklah, kau boleh ke kamar
sekarang. Ibu juga mau masuk kamar. Sepertinya telinga ibu sudah tidak sabaran
untuk mendengar dongeng.” Yurike berjalan ke kamar dengan semangat. Dan Dewa
pun berjalan ke kamarnya dengan perasaan bangga. Ia bangga telah bisa memberikan
ide cemerlang pada ibunya. dan yang membuatnya sangat senang, mulai malam ini,
ia akan terbebas dari dongeng ibunya. Ia hanya mendengar samar suara ibunya
yang sedang mendongeng untuk dirinya sendiri. Entah sampai jam berapa. Entah
kapan ibunya berhenti mendongeng. Yang pasti Dewa terlelap lebih dahulu sebelum
ibunya berhenti mendongeng. Dan itu dilakukannya setiap malam mulai diselimuti
gelap.
Padang, Januari 2017
PENULIS
Irepia Refa Dona. Pemilik hobi membaca dan
menonton ini Lahir di Muara Jambu. Anggota Forum Lingkar Pena Sumatera Barat.
Cerpennya dimuat dalam antologi bersama : Mimpi Merah Hari Ke-40 (Lomba Menulis
Cerpen) dan Kasam (20 Cerpen terbaik sayembara cerpen Sumatera Barat).
Ninggalin jejak dulu, Kak. Keren!
ReplyDeletemksih miko. tpi nanti ambil lgi ya. aq g' suka lihat jejak berserakan :D
ReplyDeleteWawww
ReplyDeleteBagus kak... jadi pengen nulis cerpen, biasanya cuma bikin puisi
ReplyDeleteMakasih kak. Smangat nulisnya kak
Deletekeren lho kak... jadi pengen ikutan nulis cerpen. Karena biasanya cuma nulis puisi
ReplyDeletekeren lho kak... jadi pengen ikutan nulis cerpen. Karena biasanya cuma nulis puisi
ReplyDelete