MEMEJAMKAN MATA
Irepia Refa Dona
Terbit di
singgalang 07 Juli
2016
Ditatapnya
tubuhnya yang kaku terbaring di atas dipan kayu yang sudah mulai rapuh dimakan
usia. Tangannya yang kurus terlipat ke dada. Matanya tertutup. Alis matanya
tebal, bahkan tanpa pensil alis yang sering dipakai orang-orang. Bulu matanya
panjang, bukan karena bulu mata palsu. Badannya yang kurus, dibungkus oleh
kain. Terpancar rona pucat dari wajahnya. Ternyata ia lebih mirip ibunya
daripada ayahnya, yang hanya bisa dilihatnya lewat foto pernikahan mereka.
Ia
tersenyum menatap tubuhnya yang terbaring tanpa roh. Selama ini tidak satu pun
keinginannya yang terkabul. Tapi kali ini, sepertinya Allah mendengar do’anya.
Ia ingin sekali memejamkan matanya untuk selamanya. Dan kini keinginannya telah
menjadi kenyataan.
*****
Nayla
merebahkan tubuhnya di atas rumput di belakang rumahnya. Memejamkan matanya
beberapa jam lamanya. Dia menganggap, memejamkan mata adalah hal yang paling
menyenangkan. Buktinya, ibunya tidak lagi dibentak –bentak saat sipenagih
hutang datang dan ayahnya tidak lagi merasakan sakit saat mencoba untuk
menghela nafas. Dia juga ingin memejamkan matanya, tapi setiap kali ia
memejamkan matanya, matanya selalu terbuka kembali. Ia ingin memejamkan matanya
untuk selamanya.
“Neng,
tolong ambilkan nenek sereh!” Meski berjam-jam ia memejamkan matanya, tapi
suara neneknya tetap dapat didengarnya dengan sangat jelas. Ia mencoba membuka
matanya, jangan bisa, jangan bisa. Hati kecilnya berharap agar matanya tidak
pernah bisa terbuka untuk selamanya. Huft.
Lagi-lagi keinginannya tidak bersahabat dengan matanya. Matahari telah
menatapnya, seolah-olah berkata cilukba. Ia menyembunyikan matanya dengan
telapak tangannya yang kecil, karena tak tahan oleh tatapan curiga matahari
siang itu. Ia bergegas menuju rumpun sereh yang ada di belakang rumahnya.
Nayla
menatap neneknya dengan mata tidak berkedip sedikit pun. Sebatang sereh sudah
berada di genggamannya. Sebuah senyum manis hadir di wajah imutnya. Senyum
kebahagiaan gadis yang baru menamatkan pendidikan dasar itu dulu selalu menarik
perhatian setiap orang yang melihatnya. Tapi semenjak orangtuanya meninggal ia
lebih banyak menghadirkan wajah tanpa ekspresi daripada tersenyum. Sekarang,
entah apa yang membuatnya tersenyum. Neneknya pun heran. Tapi ia terlihat
sangat bahagia melihat senyum cucu kecilnya. Dan menyuruhnya mandi karena
sebentar lagi waktunya pergi mengaji. Meski ia sudahbisa mengaji, tapi neneknya
ingin ia belajar tajwid dan irama.
Semenjak
orangtuanya meninggal, ia tinggal dengan neneknya. Ia adalah cucu satu-satunya.
Neneknya merawatnya dan menyekolahkannya dengan uang hasil jualan tikar, sapu
lidi, dan sayur yang di buat dan ditanamnya sendiri.
Malam
itu, bintang menghiasi langit dengan indahnya. Bulan muncul di antara
bintang-bintang. Nayla tidur di teras rumahnya berbantalkan paha neneknya yang
mulai keriput. Neneknya meraba-raba rambutnya. Entah apa yang tangannya coba
cari. Tapi kelihatannya ia hanya ingin membelai cucunya.
“Nek,
sebelum aku meninggal, nenek jangan meninggal duluan. Aku takut ditinggal
sendirian.” Nayla memecahkan suasana malam itu dengan pertanyaan yang tak
disangka-sangka oleh neneknya. Neneknya diam. Tidak ada jawaban yang terdengar.
Nayla mengalihkan pandangannya dari bintang-bintang yang menghias langit malam
itu, menatap neneknya yang belum juga menanggapi ucapannya.
Neneknya
tersenyum. Entah itu lesung pipit yang terbentuk di wajahnya, entah itu cekung
karena ia telah tua. Keduanya tidak bisa dibedakan. Ia berkata pelan, kalau ia
berharap, tidak akan meninggal sebelum cucunya dewasa dan mempunyai suami
nanti. Ia ingin melihat cucunya memakai sunting, pakain mempelai wanita saat menikah.
Ia hanya tersenyum mendengar ucapan neneknya. Baginya, hanya neneknya yang ia miliki
di dunia ini selain Sazy, kucing kesayangannya, yang selalu menemaninya tidur.
Sedangkan teman. Tidak ada yang mau berteman dengannya seorang pun.
“Neng,
ayo bangun! Nanti kamu terlambat ke sekolah.” Suara neneknya terdengar
sayup-sayup sampai. Sepertinya ia sedang berada di bekang rumah. Mengambil
sayur untuk dijual ke pasar pagi ini. Nayla enggan untuk bangun. Baginya pergi
sekolah dan mengaji adalah dua hal yang sangat menakutkan. Di sana ia akan di
anggap tidak ada. Tidak ada satu pun yang mau berteman dengannya. Dia akan
melalui hari-harinya sendirian. Karena teman-temannya takut mereka akan
tertular penyakit TBC yang diderita ayahnya, yang mungkin juga menular padanya.
Tapi karena takut pada neneknya, ia tetap saja pergi sekolah dan mengaji walau
seringkali ia bolos.
Lapangan
sepak bola, itu adalah tempat yang sering dikunjungi saat ia tidak ingin
kesepian saat berada dikeramaian, saat ia bolos sekolah atau mengaji. Tempat
itu berada cukup jauh dari perumahan penduduk. Di sana ia akan berbaring berapa
pun lamanya ia suka. Tidak ada yang mengganggunya. Bahkan matahari. Ia sudah
terbiasa dengan tatapan curiga matahari. Sampai tidak sadar kalau matahari
sudah condong ke barat.
“Kamu
dari mana saja? Kok lama sekali pulang sekolahnya? sudah shalat zuhur?” Ia
disambut dengan segudang pertanyaan dari neneknya. Ia tahu, itu wujud kasih
sayang neneknya. Ia tidak bisa membohonginya. Sehingga ia putuskan untuk diam
sambil tersenyum. Senyum yang mampu meluluhkan hati neneknya. Dan bergegas ke
kamar, mengambil handuk, kemudian mandi.
Suatu
ketika, saat pulang sekolah, saat itu ia pulang lebih awal. Ia tidak menemukan
neneknya di rumah. Ia tahu, jam segini pasti neneknya ke pasar untuk jualan.
Badannya terlihat lemas. Matanya merah, seperti orang habis menangis. Bajunya
kotor, seperti dilempari sesuatu. Ia meletakkan tasnya ke dalam kamar kemudian
menuju ke belakang rumahnya. Tempat favoritnya. Ia mulai berbaring di atas
rumput. Matanya menatap sinar mentari siang itu. Tiba-tiba pandangannya tertuju
pada satu arah. Di angkasa, beberapa kawanan burung terbang dengan bebasnya.
“Bahkan
burung pun punya teman.” Ia mengoceh sendiri. Menatap cemburu pada
burung-burung yang seolah-olah mencibirnya. Matanya tidak lepas-lepasnya
menatapnya. Meneteskan bulir air dari kedua ujung matanya. Entah karena terharu
melihatnya, entah karena matanya perih akibat sinar matahari dan entah karena
hatinya begitu penuh karena desakan kesedihan.
Entah
berapa lama ia berbaring. Ia sudah tidak ingat lagi. Yang ia ingat, siang itu
badai berhembus begitu kencang. Menerbangkan daun-daun. Bahkan ia rasakan daun
mendarat di pipinya karena ditiup angin. Matahari sudah bersembunyi di balik
awan hitam. Setetes-setetes dirasakan air membasahi tubuhnya. Neneknya tak
kunjung pulang. Ia tidak ingin membuka matanya. Ia tidak ingin melihat dunia
yang begitu kejam baginya. Ia ingin memejamkan matanya selamanya.
Saat
ia mencoba membuka matanya, semua terasa begitu berbeda. Tidak ada rumah. Tidak
ada pohon-pohon. Dari jauh ia lihat dua orang berpakaian serba putih menujunya.
mereka terus berjalan. Bahkan tidak memperdulikannya. Hatinya terasa sakit.
Dimana pun ia berada, ia selalu dianggap tidak ada. Bahkan oleh orangtuanya sekali
pun. Dalam hati ia berkata, neneknya benar, bahkan jika ia mati, orangtuanya
tidak akan mengenalinya. Di dalam kubur, kita hanya mengurusi urusan kita
masing-masing. Hanya saja, jika ia ingin menolong orangtuanya, meringan dosa
mereka, maka do’akan mereka. Karena do’a anak soleh dan solehahlah yang akan
terus mengalir pada orangtuanya.
Nayla
menangis, meski suaranya tidak keluar, tapi pipinya basah diguyur airmata. Ia
berbalik, menuju rumahnya. Ia ingin sekali mengunjungi neneknya. Sedang apa
neneknya sekarang. Ini adalah waktu neneknya memasak. Pasti tidak ada orang
yang bisa dimintai tolong untuk mengambil sereh.
Dilihatnya
tubuhnya yang terbaring di atas dipan. Sazy berbaring di sampingnya. Dengan
mata terus menatapnya. Jilati pipiku Sazy, seperti yang biasa kau lakukan saat
membangunkan aku. Nayla menatap kucingnya penuh harap. Sepertinya harapan itu
hanya akan menjadi harapan kosong. Dilihatnya sekeliling, sejauh apapun matanya
mencari, tapi ia tidak menemukan sosok neneknya. Ia kemudian bergegas ke
belakang. Biasanya jam segini neneknya sedang memasak. Dan ia berbaring di
halaman belakang rumahnya. Ternyata benar, neneknya sedang berjalan
tersuruk-suruk, sepertinya mau ke belakang.
“Pangil
aku Nek! Agar aku bisa mengambilkan batang sereh buat nenek!” Nayla mengoceh
sendiri. Walau ia tahu, neneknya tidak akan bisa mendengarnya. Neneknya terus
berjalan. Ia mengikutinya dari belakang. Ditatapnya batang sereh itu lama. Ia
menangis. Satu hal yang di ingatnya, selama ini ia tidak pernah mengambil
batang sereh. Biasanya cucunya yang mengambilkan untuknya. Isak tangis
menyelimuti rumpun sereh sore itu.
Nayla
tidak tahan melihat neneknya menangis. Airmata berkilauan di matanya. Ia tidak
sanggup lagi membendung airmatanya. Isak tangis pecah bersamaan dengan isak
tangis neneknya. Sambil menangis ia terus berkata maaf. Maaf karena selalu
tidak mendengarkan nasehat neneknya, maaf karena ia selalu ingin meninggalkan
neneknya dan maaf karena tidak menepati janjinya.
*****
“Neng,
ayo bangun!” Nayla membuka matanya sambil tersedu-sedu. Pipinya terasa basah
oleh airmata. Ia lihat neneknya sudah berada di sampingnya. Di atas dipan kayu.
Sazy menatapnya. Lidahnya masih terjulur. Sepertinya habis menjilati pipinya.
Ia merangkul neneknya erat. Seperti tidak ingin melepasnya. Neneknya pun
terlihat heran melihat tingkah cucu kecilnya.
“Cucu
nenek mimpi apa? Bahu nenek terasa mau patah menggendongmu ke atas dipan.”
Neneknya mengusap-ngusap rambut Nayla yang basah. Entah karena keringat, entah
karena airmata. Nayla tidak bicara. Ia hanya berusaha untuk meredahkan
tangisnya. Tapi Ia tetap saja terisak-isak sambil berkata kalau ia ingin
mengambilkan sereh untuk neneknya, setelah itu ia mandi, dan pergi mengaji. Ia
ingin belajar do’a ke ustad yang mengajarkannya mengaji.
Neneknya
tersenyum sambil mencium kening cucunya dan berkata, selagi kita hidup, maka
jalanilah kehidupan dengan sebaik mungkin, selalu bersyukur, karena disaat
sedih, Allah selalu menghembuskan angin kebahagiaan. Disaat tersesat, Allah
sinari kita dengan cahaya petunjuknya. Disaat butuh pertolongan, pertolonganNYA
hadir dari arah yang tak pernah kita duga. Tidak usah takut hidup di dunia ini.
Kita tidak akan pernah terlantar, kita tidak akan pernah tersesat, karena akan
selalu ada pertolongan Allah. Allah itu maha adil.
Nayla
menatap neneknya yang terus mengoceh. Entah ia mendengar apa yang diucapkan
neneknya. Entah ia hanya senang, karena keinginannya tidak terkabul.
Punggasan, Juni 2016
Irepia Refa Dona, Sarjana Fisika Universitas Negeri Padang,
Anggota Forum Lingkar Pena Smatera Barat
0 comments:
Post a Comment