Satinggi-tinggi
tabangnyo bangau, baliaknyo ka kubangan juo. Abah sering
kali mengatakan itu setiap kali Zea mengatakan kalau ia benci tinggal di
kampung halaman. Banyak hal yang membuatnya sakit. Meski kadang luka tidak
berdarah, namun kau tahu, luka dalam yang tidak tampak itu jauh lebih parah.
Namun petuah Abah, yang juga sering ia dengar dari lagu minang itu, tidak
pernah bisa ia lupakan. Abah benar. Sejauh apapun kakinya melangkah, namun
naluri rindu rumah selalu menghantuinya. Setiap kali memasuki puasa atau
lebaran. Setiap kali rekan kerjanya membuat rencana untuk pulang, setiap itu
pula Zea selalu teringat kata-kata Abahnya. Namun seberapa besar pun ia rindu
rumah, seberapa besar pun ia ingin pulang, ia tidak tahu lagi, rumah mana yang
ia rindukan? Ke mana ia akan pulang? Kubangan itu, ia rasa tidak ada lagi.
*****
“Tahun ini kau tidak
pulang lagi, Ze?” Zea membaringkan badannya di atas kasur tipis berseprai
hijau. Ia selalu menyukai warna hijau. Warna hijau bagaikan pemandangan di
kampung halamannya. Pemandangan tentang bukit yang ditumbuhi pepohonan.
Pemandangan tentang sawah yang terbentang luas. Pertanyaan Didi siang tadi
masih terngiang di telinganya. Ini bukan pertanyaannya pertama kali. Setiap
tahun, tidak hanya Didi, bahkan teman yang lainnya juga bertanya perihal itu.
Tidak banyak yang tahu
tentang Zea. Bagi Zea, tidak ada baiknya orang terlalu banyak tahu perihal
kehidupan kita. Tentang anak perempuan satu-satunya. Tentang luka yang
digoreskan oleh sanak saudaranya. Tentang rencana Zea yang ingin menghilang dari
kehidupan sanak saudaranya. Namun bagaimanapun Zea mencoba menghilang, hubungan
kekeluargaan itu datang secara alamiah.
“Seberapa besar pun
mereka menyakiti kita, namun mereka tetap keluarga kita, Ze. Kau tidak bisa
dengan mudahnya memutus hubungan kekeluargaan. Keluarga tetap keluarga
sekalipun mereka lebih terlihat seperti musuh.”
Zea memukul-mukul
dadanya keras. Matanya merah mencoba menahan tangis yang jika dilepaskan pasti
akan meledak. Lama sekali rasanya ia tidak menangis. Lama sekali ia menahannya.
Sejak terakhir kali, saat ia memutuskan menjual rumah peninggalan orangtuanya.
Harta warisan satu-satunya. Keputusan paling sulit saat itu. Rumah yang
seharusnya tidak dijual. Rumah yang akan menjadi tempat atau tepatnya alasan
untuk ia pulang. Tapi saat itu ia menjualnya. Tangisnya pecah. Membasahi uang
hasil penjualan rumah orang tuanya.
“Maafkan aku Abah,
Emak.” Zea terisak. Menghapus kasar air mata yang mengalir di kedua pipinya.
“Jika kau marah, maka kutuklah aku dari atas sana. Aku rasa, aku tidak punya
pilihan lain.” Zea membaringkan badannya sembarang di lantai kontrakannya.
Setelah menjual rumah orangtuanya, ia memutuskan untuk pergi dari kampung
halamannya. Merantau jauh. Tidak ada yang bertanya kemana ia pergi. Semua sanak
saudaranya marah saat tahu kalau ia menjual rumah orangtuanya. Berbagai umpatan
datang silih berganti. Namun Zea tahu, mereka hanya marah, bukan peduli.
Biarlah merasakan sakit sebentar dari pada sakit lama jika harus tinggal di
kampung halaman. Begitu yang ada di pikiran Zea saat itu. Dan dia tidak pernah
menyesali keputusannya.
Setiap kali Zea
merindukan kampung halamannya, setiap kali itu pula ia akan mengingat kembali
perilaku sanak saudaranya padanya. Semenjak Emaknya meninggal karena sakit
paru-paru, Abah sering sakit-sakitan. Abah tidak memiliki banyak harta. Sawah satu-satunya
yang dimiliki Abah telah dijual saat mengobati Emak. Abah hanya bekerja di
ladang orang. Saat itu Zea baru SMA. Ia lebih sering membantu orang-orang
membelah pinang. Kemudian ia akan diberi sedikit uang. Uang itulah yang sering
digunakan sebagai uang sakunya ke sekolah. Upah Abah bekerja di ladang orang
hanya cukup untuk biaya sehari-hari dan terkadang membeli obat Abah.
Namun Abahya sakit
parah. Ia harus dirawat di rumah sakit. Tidak ada cara lain yang bisa dilakukan
Zea selain datang pada sanak saudaranya. Kata-kata penuh permohonan masuk
telinga kiri keluar telinga kanan bagi sanak saudaranya. Air mata terbuang
sia-sia. Bukan belas kasihan ia dapatkan, tapi umpatan yang membuat sakit
tambah parah. Bagai luka bakar yang disiram air garam. Pedih.
“Itu sebabnya selagi
muda bekerja dengan keras. Kau pikir kau akan sehat selamanya. Lihat, sakit
seperti ini kau butuh banyak uang. Coba kau punya sapi untuk dijual. Tapi apa
yang kau punya? Siapa yang mau membeli kucing hitam jelek yang kau pelihara
itu?”
“Kami juga tidak punya
uang, Ze. Bahkan untuk makan sehari-hari
saja susah. Kau lihatlah Mak Etek kau, makin hari makin kurus saja.”
“Aku lagi butuh banyak
uang, Ze. Raka sebentar lagi wisuda. Tidak mungkin uang wisuda Raka dipakai
dulu. Nanti kalau kau belum bisa bayar, kasihan Raka.”
Ada banyak penolakan
yang didengar Zea. Penolakan dengan berbagai alasan. Walau kadang alasan itu
sangat sulit diterima Zea. Tapi apalah dayanya. Ia tidak bisa memaksa. Ia hanya
harus menerima. Bahkan ia harus menerima takdir, setelah ia menggadaikan
rumahnya untuk mengobati Abahnya, Abahnya pergi untuk selamanya. Abah sudah melarangnya
untuk mengobatinya. Namun Zea merasa, hatinya tidak bisa menerima kalau Abah hanya
dibiarkan tanpa sempat berobat. Dia tidak sanggup melihat Abah yang hanya
terbaring seolah hanya menunggu ajal. Tanpa ada harapan untuk sembuh.
“Begitulah kehidupan
Zea. Kau tidak perlu heran. Saat kau kaya, bahkan sehasta akan menjadi
sejengkal. Tapi saat kau miskin, sejengkal akan jadi sehasta. Saat kau miskin
mereka akan menganggapmu keluarga tidak, sanak pun haram. Begitu yang akan kau
alami. Itu sudah hukum alam. Bagaimana hukum alam akan berlaku padamu, itu
tergantung bagaimana cara kau hidup. Hiduplah dengan baik.”
Abah menutup mata untuk
selamanya. Zea tidak menangis, tapi dadanya serasa disesaki sesuatu. Berdesakan
ingin keluar. Sebagai anak ia merasa gagal. Berbagai pertanyaan muncul di
kepalanya. Pernahkah ia membuat Abah dan Emaknya bahagia walau sesaat?
Pernahkah mereka bersyukur karena telah memilikinya? Lama Zea terpuruk. Ucapan
belasungkawa dari sanak saudaranya datang silih berganti. Namun ia tidak lagi
mengharapkan itu. Ucapan itu sedikit pun tidak membuatnya terhibur. Dapatkah
ucapan itu membawa Abahnya kembali?
Rumah terasa sepi.
Belasungkawa hanya berlangsung satu hari di mata orang-orang. Meski itu hanya
diperlihatkan dari cara mereka berpakaian dan raut wajah mereka yang entah itu
benar entah tidak. Tapi belasungkawa terus berlangsung di hati Zea. Bahkan
sebulan setelah kepergian Abahnya. Dan setelah sebulan itu, ia memutuskan
menjual rumah yang telah digadaikan itu.
Betapa besar rasa
bersalah Zea. Ia tidak bisa tidur dengan nyaman. Setiap kali ia mencoba
memicingkan matanya, ia teringat kembali tentang Abah dan Emaknya. Tentang rasa
kecewa mereka karena telah menjual rumah satu-satunya kenangan yang tersisa.
Hingga saat malam itu, saat ia terlelap dalam lelahnya, ia bermimpi kalau Abah
dan Emaknya mendatanginya dengan pakaian serba putih. Mereka membelai lembut
rambut Zea. Kemudian mereka tersenyum dan pergi bersama cahaya yang menelan
tubuh mereka. Zea terbangun. Di dapatinya lampu kontrakkannya mati. Ia tidak
mempedulikan gelap. Ia memegang kepalanya. Seolah merasakan tangan Abah dan
Emaknya masih menempel indah di kepalanya. Sejak saat itulah Zea yakin kalau
orangtuanya tidak menyalahkan keputusannya.
*****
“Lebaran kali ini aku
akan pulang.” Pagi senin yang sibuk seketika berubah menjadi hening dan
lengang. Suara-suara bising yang semula mengisi ruangan kerja itu seketika
menghilang bagai ditiup badai. Semua mata beralih kepada sumber suara yang
sangat mereka kenali. Sudah hampir sepuluh tahun si pemilik suara bekerja di
sini. Siapapun pasti hafal dengan suaranya.
“Kau sakit, Ze?” Didi
memegang kening Zea. Sudah hampir sepuluh tahun Zea bekerja, baru kali ini ia
mendengar Zea mengatakan kalau ia akan pulang. Biasanya lebaran selalu
dihabiskan untuk bekerja. Bahkan Didi dan yang lainnya pernah mendapatkan jatah
libur Zea yang diberikan Zea secara sukarela.
“Aku rindu rumah.”
Suara Zea tertahan. Baru kali ini ia mengatakan rindu rumah. biasanya bicara
tentang rumah selalu ia hindari. “Ya, aku sangat rindu rumah.” semua terdiam
mendengar ucapan Zea. Mereka seolah dapat merasakan betapa Zea merindukan rumah.
Zea tersenyum melihat ekspresi rekan-rekannya. Ia bahagia. Apalagi mendengar
kabar tadi malam. Pak Kadir yang membeli rumahnya menghubunginya tadi malam. Ia
bertanya soal sisa uang penjualan rumah apakah sudah habis atau belum. Selama ini
Zea menyimpan uang itu. Hanya memakainya sedikit saat ia belum mendapatkan
pekerjaan. Dan sekarang uang itu sudah banyak terkumpul ditambah juga dengan
uang gajinya. Pak Kadir bilang, kalau ia sudah punya cukup uang, ia bisa
mengambil rumahnya kembali. Betapa senangnya hati Zea, ternyata masih ada orang
yang berbaik hati. Pak Kadir yang bukan keluarganya.
Sejak saat itu Zea
bekerja makin giat. Ia membayangkan lebaran kali ini ia bisa melihat rumahnya.
Tidak. Rumah Pak Kadir. Dia akan pulang satu hari saja tanpa seorang pun dari
sanak saudaranya mengetahui. Bahkan Pak Kadir mungkin tidak akan mengetahuinya.
Ya, mungkin ia hanya akan melihat rumah yang ia rindukan dari kejauhan sambil
mengatakan, kalau ia sudah punya cukup uang, ia akan mengambil rumah itu
kembali.
Padang, April 2017
baca juga Undangan
Bagus kak cerpen nya.
ReplyDeleteMau nnya nih kak. Desain gambar yg kk kirim ke koran kk sendiri yg buat?
Trmksh sblm nya ka
Bagus kak cerpen nya.
ReplyDeleteMau nnya nih kak. Desain gambar yg kk kirim ke koran kk sendiri yg buat?
Trmksh sblm nya ka
Mksih k". Bukan kak. Kita cuma ngirim cerpennya saja kak. Gambarx dari pihak korannya yg buat kak
Delete