Rindu Rumah ~ Bersyukur dan Berbahagia

About Me

About Me


Penikmat sastra dan staff pengajar fisika
di salah lembaga bimbingan belajar di Padang.
Bergiat di Forum Lingkar Pena Sumatera Barat.
Hobby melakukan apapun asal menyenangkan.

FLP

FLP
Logo FLP

Tuesday, April 25, 2017

Rindu Rumah

Singgalang, 23 April 2017 Oleh : Irepia Refa Dona

Satinggi-tinggi tabangnyo bangau, baliaknyo ka kubangan juo. Abah sering kali mengatakan itu setiap kali Zea mengatakan kalau ia benci tinggal di kampung halaman. Banyak hal yang membuatnya sakit. Meski kadang luka tidak berdarah, namun kau tahu, luka dalam yang tidak tampak itu jauh lebih parah. Namun petuah Abah, yang juga sering ia dengar dari lagu minang itu, tidak pernah bisa ia lupakan. Abah benar. Sejauh apapun kakinya melangkah, namun naluri rindu rumah selalu menghantuinya. Setiap kali memasuki puasa atau lebaran. Setiap kali rekan kerjanya membuat rencana untuk pulang, setiap itu pula Zea selalu teringat kata-kata Abahnya. Namun seberapa besar pun ia rindu rumah, seberapa besar pun ia ingin pulang, ia tidak tahu lagi, rumah mana yang ia rindukan? Ke mana ia akan pulang? Kubangan itu, ia rasa tidak ada lagi.
*****
“Tahun ini kau tidak pulang lagi, Ze?” Zea membaringkan badannya di atas kasur tipis berseprai hijau. Ia selalu menyukai warna hijau. Warna hijau bagaikan pemandangan di kampung halamannya. Pemandangan tentang bukit yang ditumbuhi pepohonan. Pemandangan tentang sawah yang terbentang luas. Pertanyaan Didi siang tadi masih terngiang di telinganya. Ini bukan pertanyaannya pertama kali. Setiap tahun, tidak hanya Didi, bahkan teman yang lainnya juga bertanya perihal itu.

Tidak banyak yang tahu tentang Zea. Bagi Zea, tidak ada baiknya orang terlalu banyak tahu perihal kehidupan kita. Tentang anak perempuan satu-satunya. Tentang luka yang digoreskan oleh sanak saudaranya. Tentang rencana Zea yang ingin menghilang dari kehidupan sanak saudaranya. Namun bagaimanapun Zea mencoba menghilang, hubungan kekeluargaan itu datang secara alamiah.

“Seberapa besar pun mereka menyakiti kita, namun mereka tetap keluarga kita, Ze. Kau tidak bisa dengan mudahnya memutus hubungan kekeluargaan. Keluarga tetap keluarga sekalipun mereka lebih terlihat seperti musuh.”

Zea memukul-mukul dadanya keras. Matanya merah mencoba menahan tangis yang jika dilepaskan pasti akan meledak. Lama sekali rasanya ia tidak menangis. Lama sekali ia menahannya. Sejak terakhir kali, saat ia memutuskan menjual rumah peninggalan orangtuanya. Harta warisan satu-satunya. Keputusan paling sulit saat itu. Rumah yang seharusnya tidak dijual. Rumah yang akan menjadi tempat atau tepatnya alasan untuk ia pulang. Tapi saat itu ia menjualnya. Tangisnya pecah. Membasahi uang hasil penjualan rumah orang tuanya.

“Maafkan aku Abah, Emak.” Zea terisak. Menghapus kasar air mata yang mengalir di kedua pipinya. “Jika kau marah, maka kutuklah aku dari atas sana. Aku rasa, aku tidak punya pilihan lain.” Zea membaringkan badannya sembarang di lantai kontrakannya. Setelah menjual rumah orangtuanya, ia memutuskan untuk pergi dari kampung halamannya. Merantau jauh. Tidak ada yang bertanya kemana ia pergi. Semua sanak saudaranya marah saat tahu kalau ia menjual rumah orangtuanya. Berbagai umpatan datang silih berganti. Namun Zea tahu, mereka hanya marah, bukan peduli. Biarlah merasakan sakit sebentar dari pada sakit lama jika harus tinggal di kampung halaman. Begitu yang ada di pikiran Zea saat itu. Dan dia tidak pernah menyesali keputusannya.

Setiap kali Zea merindukan kampung halamannya, setiap kali itu pula ia akan mengingat kembali perilaku sanak saudaranya padanya. Semenjak Emaknya meninggal karena sakit paru-paru, Abah sering sakit-sakitan. Abah tidak memiliki banyak harta. Sawah satu-satunya yang dimiliki Abah telah dijual saat mengobati Emak. Abah hanya bekerja di ladang orang. Saat itu Zea baru SMA. Ia lebih sering membantu orang-orang membelah pinang. Kemudian ia akan diberi sedikit uang. Uang itulah yang sering digunakan sebagai uang sakunya ke sekolah. Upah Abah bekerja di ladang orang hanya cukup untuk biaya sehari-hari dan terkadang membeli obat Abah.

Namun Abahya sakit parah. Ia harus dirawat di rumah sakit. Tidak ada cara lain yang bisa dilakukan Zea selain datang pada sanak saudaranya. Kata-kata penuh permohonan masuk telinga kiri keluar telinga kanan bagi sanak saudaranya. Air mata terbuang sia-sia. Bukan belas kasihan ia dapatkan, tapi umpatan yang membuat sakit tambah parah. Bagai luka bakar yang disiram air garam. Pedih.

“Itu sebabnya selagi muda bekerja dengan keras. Kau pikir kau akan sehat selamanya. Lihat, sakit seperti ini kau butuh banyak uang. Coba kau punya sapi untuk dijual. Tapi apa yang kau punya? Siapa yang mau membeli kucing hitam jelek yang kau pelihara itu?”

“Kami juga tidak punya uang, Ze.  Bahkan untuk makan sehari-hari saja susah. Kau lihatlah Mak Etek kau, makin hari makin kurus saja.” 

“Aku lagi butuh banyak uang, Ze. Raka sebentar lagi wisuda. Tidak mungkin uang wisuda Raka dipakai dulu. Nanti kalau kau belum bisa bayar, kasihan Raka.”

Ada banyak penolakan yang didengar Zea. Penolakan dengan berbagai alasan. Walau kadang alasan itu sangat sulit diterima Zea. Tapi apalah dayanya. Ia tidak bisa memaksa. Ia hanya harus menerima. Bahkan ia harus menerima takdir, setelah ia menggadaikan rumahnya untuk mengobati Abahnya, Abahnya pergi untuk selamanya. Abah sudah melarangnya untuk mengobatinya. Namun Zea merasa, hatinya tidak bisa menerima kalau Abah hanya dibiarkan tanpa sempat berobat. Dia tidak sanggup melihat Abah yang hanya terbaring seolah hanya menunggu ajal. Tanpa ada harapan untuk sembuh.

“Begitulah kehidupan Zea. Kau tidak perlu heran. Saat kau kaya, bahkan sehasta akan menjadi sejengkal. Tapi saat kau miskin, sejengkal akan jadi sehasta. Saat kau miskin mereka akan menganggapmu keluarga tidak, sanak pun haram. Begitu yang akan kau alami. Itu sudah hukum alam. Bagaimana hukum alam akan berlaku padamu, itu tergantung bagaimana cara kau hidup. Hiduplah dengan baik.”

Abah menutup mata untuk selamanya. Zea tidak menangis, tapi dadanya serasa disesaki sesuatu. Berdesakan ingin keluar. Sebagai anak ia merasa gagal. Berbagai pertanyaan muncul di kepalanya. Pernahkah ia membuat Abah dan Emaknya bahagia walau sesaat? Pernahkah mereka bersyukur karena telah memilikinya? Lama Zea terpuruk. Ucapan belasungkawa dari sanak saudaranya datang silih berganti. Namun ia tidak lagi mengharapkan itu. Ucapan itu sedikit pun tidak membuatnya terhibur. Dapatkah ucapan itu membawa Abahnya kembali?

Rumah terasa sepi. Belasungkawa hanya berlangsung satu hari di mata orang-orang. Meski itu hanya diperlihatkan dari cara mereka berpakaian dan raut wajah mereka yang entah itu benar entah tidak. Tapi belasungkawa terus berlangsung di hati Zea. Bahkan sebulan setelah kepergian Abahnya. Dan setelah sebulan itu, ia memutuskan menjual rumah yang telah digadaikan itu.

Betapa besar rasa bersalah Zea. Ia tidak bisa tidur dengan nyaman. Setiap kali ia mencoba memicingkan matanya, ia teringat kembali tentang Abah dan Emaknya. Tentang rasa kecewa mereka karena telah menjual rumah satu-satunya kenangan yang tersisa. Hingga saat malam itu, saat ia terlelap dalam lelahnya, ia bermimpi kalau Abah dan Emaknya mendatanginya dengan pakaian serba putih. Mereka membelai lembut rambut Zea. Kemudian mereka tersenyum dan pergi bersama cahaya yang menelan tubuh mereka. Zea terbangun. Di dapatinya lampu kontrakkannya mati. Ia tidak mempedulikan gelap. Ia memegang kepalanya. Seolah merasakan tangan Abah dan Emaknya masih menempel indah di kepalanya. Sejak saat itulah Zea yakin kalau orangtuanya tidak menyalahkan keputusannya.
*****
“Lebaran kali ini aku akan pulang.” Pagi senin yang sibuk seketika berubah menjadi hening dan lengang. Suara-suara bising yang semula mengisi ruangan kerja itu seketika menghilang bagai ditiup badai. Semua mata beralih kepada sumber suara yang sangat mereka kenali. Sudah hampir sepuluh tahun si pemilik suara bekerja di sini. Siapapun pasti hafal dengan suaranya.

“Kau sakit, Ze?” Didi memegang kening Zea. Sudah hampir sepuluh tahun Zea bekerja, baru kali ini ia mendengar Zea mengatakan kalau ia akan pulang. Biasanya lebaran selalu dihabiskan untuk bekerja. Bahkan Didi dan yang lainnya pernah mendapatkan jatah libur Zea yang diberikan Zea secara sukarela.

“Aku rindu rumah.” Suara Zea tertahan. Baru kali ini ia mengatakan rindu rumah. biasanya bicara tentang rumah selalu ia hindari. “Ya, aku sangat rindu rumah.” semua terdiam mendengar ucapan Zea. Mereka seolah dapat merasakan betapa Zea merindukan rumah. Zea tersenyum melihat ekspresi rekan-rekannya. Ia bahagia. Apalagi mendengar kabar tadi malam. Pak Kadir yang membeli rumahnya menghubunginya tadi malam. Ia bertanya soal sisa uang penjualan rumah apakah sudah habis atau belum. Selama ini Zea menyimpan uang itu. Hanya memakainya sedikit saat ia belum mendapatkan pekerjaan. Dan sekarang uang itu sudah banyak terkumpul ditambah juga dengan uang gajinya. Pak Kadir bilang, kalau ia sudah punya cukup uang, ia bisa mengambil rumahnya kembali. Betapa senangnya hati Zea, ternyata masih ada orang yang berbaik hati. Pak Kadir yang bukan keluarganya.

Sejak saat itu Zea bekerja makin giat. Ia membayangkan lebaran kali ini ia bisa melihat rumahnya. Tidak. Rumah Pak Kadir. Dia akan pulang satu hari saja tanpa seorang pun dari sanak saudaranya mengetahui. Bahkan Pak Kadir mungkin tidak akan mengetahuinya. Ya, mungkin ia hanya akan melihat rumah yang ia rindukan dari kejauhan sambil mengatakan, kalau ia sudah punya cukup uang, ia akan mengambil rumah itu kembali.

 Padang, April 2017

baca juga Undangan

3 comments:

  1. Bagus kak cerpen nya.
    Mau nnya nih kak. Desain gambar yg kk kirim ke koran kk sendiri yg buat?
    Trmksh sblm nya ka

    ReplyDelete
  2. Bagus kak cerpen nya.
    Mau nnya nih kak. Desain gambar yg kk kirim ke koran kk sendiri yg buat?
    Trmksh sblm nya ka

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mksih k". Bukan kak. Kita cuma ngirim cerpennya saja kak. Gambarx dari pihak korannya yg buat kak

      Delete