Singgalang, 21 Agustus 2016
Adzan
subuh berkumandang. Aku keluar dari kamar untuk berwudhu. Kemudian shalat
subuh. Angin berhembus begitu kencang. Membuat keributan di atap rumahku. Hujan
turun dengan derasnya. Aku mencari ibu ke kamar. Ibu tak ada di kamar. Aku
berjalan menuju halaman rumah. Aku lihat ibu menatap sayu ke laut lepas.
“Bu,
apa ayah pergi melaut?” Ibu menatap dan
membalas ucapanku dengan sebuah anggukan dan kemudian berucap bahwa ibu sudah
melarang ayah, tapi ayah tetap saja pergi. Kata ayah, kita butuh uang. Sebelum
pergi ayah juga menatap tas aku yang robek sambil berkata, besok kalau kita
dapat uang, kita belikan Rara tas dulu. Aku menghapus airmata yang menetes di
pipiku. Hatiku begitu sakit mendengarnya. Jantungku terasa mau berhenti
berdetak. Nafasku terasa sesak.
Pagi
ini, terasa begitu misteri bagiku. Perahu ayah sangat rapuh dan ayah juga tak
bisa berenang. Memang kedengaran aneh, pelaut yang tak bisa berenang. Tapi
apalah daya. Di sini tidak ada pekerjaan selain nelayan.
Badai
tak kunjung reda. Ibu berdiri di luar dengan sebuah sarung di tubuhnya untuk
menahan dingin dari terpaan badai dan percikan hujan. Sambil menangis ia tak
lupa melantunkan do’a.
“Ya
Allah, semoga para nelayan itu dapat kembali dalam keadaan selamat.” Aku terus
mendengar tangisan dan lantunan do;a yang keluar dari bibir ibuku. Tidak hanya
ibuku, semua warga pun menangis. Keluarga mereka juga di laut. Sedangkan aku?
aku bukanlah gadis yang suka melihatkan kesedihan di depan banyak orang. Aku
hanya bisa menahan tangis sambil berdo’a di dalam hati.
Aku
duduk dengan mata tak lepas-lepasnya memandang ke laut yang luas. Tidak ada
tanda-tanda kepulangan ayah. Air laut tidak kelihatan lagi, gelap ditutupi
hujan. Alun-alun semakin besar. Burung-burung telah berterbangan memenuhi muara
di depan rumahku. Entah burung apa, tapi orang-orang menyebutnya dengan burung Sama. Aku terus menatap ke laut. Dengan
baju tidur tipisku tanpa pelindung dari hujan. Tanpa alas kaki, bahkan aku
tidak merasakan lagi percikan hujan menyentuh lembut tubuhku. Seolah-olah aku telah
kehilangan rasa.
*****