Cerpen perdana terbit di Lampung Post. Benar-benar tidak menyangka kalau cerpen ini terbit dalam masa tunggu enam hari. Mungkin rezeki anak yang masih belum sholehah :). Bagi yang kebetulan baca, mohon do'ax agar saya tetap kosisten menulis dan jadi anak sholehah.
Oh iya, yang terpenting cerpen ini bukan kisah nyata. Jadi jangan bertanya lagi baik terang-terangan atau gelap-gelapan, apakah cerpen ini kisah saya? (Saya maklum, mungkin karena kebetulan saya juga penjual undangan. Bedanya, saya masih penjual undangan abal-abalan, dan Athar sudah punya toko).
Cerpen ini hanya imajinasi saya yang berkelana ke sana kemari tak tau arah. Jika sudah membaca, yang bertanya pasti akan menyesal. Karena cerita sangat berbeda dengan kehidupan saya. Nanti kalau menyesal, tidak usahlah meminta maaf, karena saya sudah memaafkan. Cukup berikan saran dan masukan. dengan senang hati saya akan terima demi perbaikan ke depannya.
Selamat membaca cerpen saya yang sederhana ini. semoga menghibur. Terima kasih sudah berkunjung. :D
Epaper Lampung Post 12 Februari 2017
Dulu aku memutuskan untuk
tidak melanjutkan kuliah bukan karena ibuku tidak punya biaya untuk
menguliahkanku. Hanya saja aku sadar diri. Bahwa aku adalah salah satu dari
lelaki yang super malas dalam hal belajar. Kata orang lelaki itu banyak yang
terlahir pintar. Jadi tidak masalah kalau ia sedikit malas belajar daripada
perempuan. Tapi aku bukanlah bagian dari lelaki yang pintar itu. Entah kenapa
Tuhan menciptakan aku dengan otak yang entah bagaimana. Aku sedikit bingung
untuk menggambarkannya.
Akhirnya aku
melanjutkan hidupku di sebuah ruangan yang tidak terlalu luas. Dengan sebuah
mesin cetak yang harganya tidak terlalu mahal. Walaupun dinding ruangan itu
tidak tertempel lukisan yang menawan, tetapi cukup menarik untuk dipandang saat
berbagai jenis undangan tertempel indah mengisi dinding berwarna kuning itu.
Ya, aku memutuskan untuk menjual berbagai jenis undangan.
Sebenarnya saat aku
memutuskan untuk menjual undangan, aku telah mencoba untuk berfikir berulang
kali. Sampai aku tidak tidur semalaman. Aku merasa seolah-olah aku sedang
menjalani takdir yang buruk. Ingatan tentang perkataan seorang nenek yang dulu
pernah aku ganggu saat usiaku masih menunjukkan sifatku yang sedang
nakal-nakalnya. Sebenarnya waktu itu aku bukan anak-anak lagi. Aku sudah
remaja, tapi kenakalan bukanlah perihal usia.