Singgalang, 30 Oktober 2016
Pagi yang terlihat
mendung. Matahari muncul dengan malu-malu, enggan untuk memperlihatkan sinarnya
pada pagi. Di balik pagar, di halaman rumah yang dipenuhi oleh kaktus, terlihat
seorang remaja dengan seragam putih biru lengkap, menyandang tas ransel
berwarna pink, memandang dengan rasa penuh kecemburuan yang terpancar dari
kedua bola matanya. Kedua tangannya berpegangan erat pada pagar yang dicat
berwarna biru muda itu. Kakinya yang memakai sepatu warna hitam bergerak tak
karuan ke sana kemari. Jilbabnya yang terurai bergerak-gerak karena sentuhan
angin pagi itu. Tidak perlu waktu lama untuk melakukan ritual paginya sebelum
berangkat sekolah. Anehnya, tidak ada yang mempedulikannya. Bahkan orangtuanya
sekalipun.
Brak!! Suara sesuatu
pecah kembali terdengar dari dalam rumahnya. Entah itu piring, gelas, atau
apapun itu. ia terlihat tidak peduli. Sesaat memang langkahnya terhenti dan
menoleh ke arah rumahnya. Tapi tak berapa lama, dia kembali berjalan. Pagi itu
ia harus berangkat sekolah.
Di balik gerbang
rumahnya, sepulang ia sekolah, dipandangi rumahnya, lama. Rumah yang cukup
mewah dibandingkan rumah-rumah yang ada di komplek Polamas. Di depan rumahnya
tidak terdapat banyak bunga. Hanya beberapa bunga kaktus yang ditata acak.
Bunga itu dia sendiri yang menanamnya. Pernah suatu ketika bapak tukang bakso
yang saat itu berhenti di depan rumahnya bertanya, kenapa rumah sebagus ini
hanya ada bunga kaktus di halamannya. Dia terdiam sejenak. Kemudian menjawabnya
dengan nada datar. Awalnya dia ingin menanam bunga mawar dan bunga anggrek yang
melambangkan cinta dan ketulusan, tapi sepertinya orangtuanya tidak menyukai
itu. Sehingga ia putuskan untuk menanam kaktus, meski tumbuh di tempat gersang
dan kering, tapi kaktus tetap bisa bertahan hidup. Bapak itu hanya diam dan
menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata, apa hubungannya menanam bunga
dengan maknanya, anak-anak zaman sekarang.
dibukanya pintu
rumahnya pelan sambil mengucapkan salam. Tidak terdengar jawaban salam dari
dalam. Hanya sunyi yang mengisi sudut setiap ruang di rumahnya. Ia tahu, jam
segini papa dan mamanya pasti sedang bekerja. Sedangkan pembantu rumah tangga,
tidak ada satu pun yang betah bekerja di rumahnya. Entah apa sebabnya.
Di ruang tamu dia
kembali disambut oleh pecahan yang berserakan di lantai. Ternyata bunyi pecah
yang didengarnya tadi berasal dari piring yang pecah. Entah berapa piring yang
pecah. Dia tidak bisa menghitungnya, karena piring itu sudah menjadi
pecahan-pecahan kecil. Yang pasti itu bukan satu piring. Diambilnya sapu dan
tempat sampah. Dikumpulkannya pecahan piring yang berserakan. Di sudut kedua
matanya mengalir tetesan bening. Entah apa yang membuat tetesan bening itu
membasahi pipinya. Ini adalah terakhir kalinya ia membersihkan pecahan pecah di
ruang tamunya semenjak ia meninggalkan sepucuk surat dan pergi untuk
selamanya..
*****
Saat ia kembali menatap
ke rumah tetangganya, kedua tangannya yang berpengangan di pagar rumahnya
dipegang oleh seorang wanita yang berusia sekitar tiga puluhan. Dia terkejut
dan spontan menarik tangannya. Ditatapnya wanita itu. Matanya terbelalak saat mengetahui kalau wanita yang di depannya
adalah si pemilik rumah yang setiap hari diintipnya dari balik pagar rumahnya.
Wanita itu tersenyum. Senyum yang mampu menghilangkan rasa takut di hatinya.
Sejak saat itu dia sering mengobrol dengan wanita sebelah rumahnya, yang
dipanggilnya Tante Meri.
“Siapa namamu, Nak?” Dia terdiam. Baru kali ini ada orang yang
mengajaknya berbicara dengan tatapan penuh kasih sayang. Kepalanya mengangguk-angguk
sambil mengingat dan berkata dalam hati, pantas dia tidak melihatnya tadi.
Ternyata orang yang diintipnya, sedang mengintipnya juga.
“Giza, Tante.” Ia
menjawabnya pelan. Wanita itu kembali tersenyum. Sambil memuji nama Giza yang
menurutnya terdengar bagus. Dia kembali bertanya, apa arti dari nama Giza. Giza
menggeleng sambil melihatkan tampang kebingungannya. Kemudian dia mengajukan
pertanyaan yang selama ini ingin diketahuinya, apakah saat ia mengintip ada
yang melihatnya. Ternyata selama ini mereka melihatnya. Hanya saja mereka
membiarkannya tanpa rasa curiga karena mungkin itu memang kebiasaannya.
*****
Siang itu, setelah
membersihkan pecahan yang berserakan di lantai dan mengganti seragam
sekolahnya, ia segera bergegas menuju dapur, membuka almari tempat mamanya
biasa menyimpan sambal dan makanan. Didapatinya almari dalam keadaan kosong.
Tidak ada sedikit pun makanan. Ia menghela nafas sambil berpikir positif,
mungkin mamanya tidak sempat memasak.
Diambilnya sebutir
telur. Dipecahnya. Dimasukkan ke dalam piring. Dimasukkan beberapa bawang yang
telah diirisnya. Ditambah dengan sedikit garam. Saat hendak mengaduk telur,
tangannya terhenti. Dilihatnya ke sekitar, entah apa yang matanya coba cari.
Dia bergegas menuju halaman belakang. Matanya tertuju pada satu arah. Seperti
menemukan sesuatu yang sedang dicarinya. Dia bergegas menuju halaman belakang
meninggalkan telur yang akan digorengnya untuk menganjal perutnya. Lapar yang
semula dirasakannya, hilang ditelan suasana siang itu.
“Mama habis bertengkar
dengan papa lagi ya?” Giza mendekati mamanya yang terdengar olehnya sedang
menangis. Mamanya membalikkan badan dan menghapus airmata yang membasahi
pipinya. Dia memecahkan suasana hening itu dengan pertanyaan yang dia sendiri
sudah tahu jawabannya. Mamanya mengangguk.
Giza jongkok di
belakang mamanya. Tangannya yang kurus menopang dagunya. Pandangan matanya
mencoba melawan matahari siang itu yang terasa mau membakar kulit. Tidak lagi
dirasakan silau matahari yang mengenai matanya. Seingatnya tidak ada kenangan
hangat, sehangat matahari siang ini yang bisa dirasakannya bersama orangtuanya.
Dari apa yang ia dengar, pernikahan orangtuanya bukanlah karena keinginan
mereka. Mamanya memiliki seseorang yang ia cintai dan papanya juga memiliki
seseorang yang ia cintai. Setiap kali Giza ingin melihat senyum orangtuanya, ia
hanya menatap foto pernikahan mereka. Senyum mengambang dari pipi keduanya.
Senyum ketulusan. Dia sering bertanya-tanya sendiri, bagaimana mungkin senyum
yang setulus itu bisa dibuat-buat. Saat papa menikahi mama hanya karena alasan
untuk mendapatkan restu untuk melanjutkan usaha ayahnya. Dan saat mama menikahi
papa, karena keinginan mamanya yang sedang sakit, ingin melihat putrinya
menikah.
*****
Panas matahari membakar
bumi, tiba-tiba hujan rintik-rintik turun membasahi bumi. Setetes demi setetes.
Kemudian mengguyur dengan derasnya disertai petir. Tanah sepertinya bersorak
akan kedatangan hujan. Matahari kali ini sepertinya kalah dengan hujan saat ini.
Selama ini hanya kemarau panjang. Hanya kaktus yang bertahan hidup. Sedangkan
bunga yang lainnya, seperti mawar dan anggrek hampir layu, jika saja tidak ada
orang yang menyiraminya.
Di balik jendela
rumahnya, Meri menatap ke pagar rumah Giza, tempat anak itu selalu berdiri
mengintip keluarganya. Dalam hati dia bertanya-tanya, sedang apa anak itu di
rumah. Pasti ia di rumah sendirian karena orangtuanya sedang bekerja. Selama
ini tidak ada pembantu yang dilihatnya. Matanya tidak berhenti-henti menatap ke
sana sambil melafalkan do’a, semoga anak itu baik-baik saja. Kemudian ia
bergegas dan mengambil payung.
“Ibu mau kemana?” salah
satu anaknya bertanya, saat melihatnya bersiap-siap mau pergi. Dia menjawabnya
dengan lembut, bahwa ia ingin melihat anak tetangga sebelah yang mungkin
sendirian di rumah. Anaknya tersenyum, menunjukkan bahwa dia mengerti. Ia
menjawab salam sambil menyuruh ibunya untuk berhati-hati.
Dilihatnya pagar rumah
Giza. Sepertinya tidak di kunci. Ia ragu, antara ingin masuk dengan tidak. Sejenak
ia berdiri, kemudian masuk dengan langkah setengah tertahan. Diketuknya pintu
sambil mengucapkan salam. Hanya hening yang dirasakannya. Tidak ada jawaban
salam dari dalam. Dalam hati ia berucap, mungkin anak itu tidak di rumah. Ia
berbalik ke belakang. Bunyi petir kemudian menggelegar di udara, kilat
menyilaukan mata , membuat langkahnya terhenti. Sesaat terpikir olehnya, jika
anak itu tidak di rumah, kenapa pintu pagar rumahnya terbuka. Ia kembali
mengetuk pintu. Dicobanya membuka pintu itu, mungkin saja tidak di kunci. Pintu
pun terbuka. Matanya tak berkedip sedikitpun, ia berlari gesit tanpa
menghiraukan licin akibat kakinya yang basah bersentuhan dengan lantai yang
licin.
Di ruang tamu sudah
terletak sebuah sapu dan tong sampah yang berisi pecahan piring. Selembar foto
pernikahan tergeletak di lantai. Dia sama sekali tidak menghiraukan itu.
Matanya hanya tertuju pada tubuh kecil yang terbaring kaku di dekat tong
sampah. Linangan airmata mengaburkan penglihatannya. Dia mendekat. Dilihatnya,
sosok yang selalu berdiri menatapnya setiap pagi, kini matanya tertutup rapat.
Dia merangkul tubuh
Giza yang terasa dingin. Airmata mengalir menandingi derasnya hujan siang itu.
Tangannya gemetaran. Begitu juga bibirnya, yang saat itu terus berucap memangil
nama Giza. Berapa kali pun dia mencoba memanggilnya, tidak ada jawaban yang keluar
dari mulutnya yang terlihat pucat saat itu. Akhirnya dia sadar, saat ini yang
bisa dipanggilnya bukan Giza, tapi orangtuanya.
*****
Meski mereka berada di
bawah atap yang sama, tapi tidak ada komunikasi yang keluar dari mulut orangtua
Giza. Suasana hening yang menguasai rumah mereka. Malam itu, mama Giza masuk ke
kamarnya. Kamarnya bersih. Padahal dia tidak pernah membersihkan kamar anaknya.
Di atas kasur terdapat boneka, tapi lebih banyak buku dan majalah. Di atas meja
belajarnya terdapat pena yang masih terbuka tutupnya, beralaskan selembar
kertas. Diambilnya kertas itu.
“Jika mama dan papa
menemukan kertas ini, saat itu aku sedang tersenyum bahagia, karena itu
berarti, mama dan papa sangat peduli padaku. Kaktus yang aku tanam mungkin akan
mati. Aku salah, menganggap kaktus tanaman yang kuat. Ternyata ia bisa membusuk
bila mengandung banyak air.” Airmata menetes di atas surat yang sedang
dipegangnya. Ia teringat cerita Meri yang lebih mengenal anaknya dari pada dia,
bahwa selama ini Giza menahan sakit sendirian. Sekujur kakinya menghitam.
Menurut dokter, kakinya terkena tetanus. Mungkin saja ia pernah terluka, tapi
ia tidak mengobatinya dan ia langsung bermain tanah.
“Ma, Pa, gantilah
kaktus yang membusuk di halaman rumah
kita dengan bunga mawar dan anggrek, seperti tetangga kita, yang aku intip setiap
pagi. Aku berharap mama dan papa bahagia. Aku sangat menyayangi mama dan papa.”
Tulisan tangan itu terlihat berantakan. Tapi lebih berantakan hatinya saat ini.
Bagaimana mungkin Giza mengetahui hal-hal seperti itu. Dia anak yang pintar.
Dia mengetahui banyak hal, karena hari-hari yang dilaluinya hanya ditemani
buku. Tiba-tiba dari belakang seseorang memeluknya dan meletakkan dagu di atas
bahunya. Dirasakan sesuatu membasahi bahunya.
“Maafkan aku yang
selama ini tidak bisa menjadi suami dan papa yang baik.” Suara suaminya
terdengar parau. Mungkin disebabkan karena dia bicara sambil menangis. Ternyata
tanpa disadari suaminya sudah berada di belakangnya. Sesaat dibiarkan tubuhnya
berada dalam pelukan suaminya. Sejak lebih kurang sepuluh tahun menikah, baru
kali ini ia merasakan kehangatan dan kasih yang tulus dari suaminya.
*****
Bagaikan musim semi,
matahari bersinar secerah mawar merah yang sedang mekar. Dibalik pagar
rumahnya, Meri mengintip sambil tersenyum melihat sapasang suami istri yang
sedang sibuk menyiram mawar dan anggrek yang memenuhi halaman rumah mereka. Dalam
hati ia berbisik, semoga ia bahagia disana, bermain di taman yang dipenuhi
bunga, dan yang paling penting, meski disana terdapat kaktus, tapi ia tidak
akan membusuk karena mengandung banyak air. Karena itu adalah tempat yang
abadi, terdapat keindahan yang abadi pula, yaitu surganya Allah.
Punggasan, Juni
2016
Irepia Refa Dona
baca juga cerpen khasanah Angin Puting Beliang dan Mangga Arumanis
0 comments:
Post a Comment