Alhamdulillah... akhirnya bisa nongkrong juga di koran
nasional. Sedikit curcol, cerpen ini awalnya aku kirim ke basabasi.co. Ternyata
dia kalah keren dengan cerpen yang masuk lainnya. Setelah dua bulan nangkring
di sana (dan memang ketentuan batas waktu di basabasi.co dua bulan), akhirnya
aku putuskan untuk mempolesnya sedikit, berharap agar ia terlihat sedikit
anggun (entah sudah anggun entah belum :)) dan alhamdulillah cuma butuh waktu satu minggu untuk ta'aruf, berjodohlah dia dengan Media
Indonesia. Jodoh yang tidak pernah terbayangkan. Ya, bagaimana pun semua sudah
ada yang atur kan???
Selamat membaca cerpen sederhana ini...
semoga terhibur..
Terbit di Media Indonesia, 23 Juli 2017
Aku
selalu menatap sayu matahari yang meluncur perlahan ke ufuk barat. Satu hal
yang aku yakini bahwa matahari itu tidak terbenam, tapi berendam. Ia sengaja
merendamkan dirinya dalam lautan karena kepanasan seharian memancarkan
sinarnya.
Pernah
suatu ketika aku berenang ke tengah lautan—menyelam jauh ke dasar laut, mencuri
matahari yang sedang berendam. Tapi belum sampai beberapa jam, aku merasa
kesusahan bernafas. Dan badanku terasa berat untuk digerakkan. Seolah ada
tangan yang menahanku dan berangsur-angsur tangan itu menarikku jauh ke dasar
lautan.
Aku
tahu makhluk jenis apa yang menarikku. Kata orang, itu adalah hantu air. Aku
mendengar cerita itu dulu. Saat berita duka yang membuatku mengubah cita-cita
sederhanaku yang semula ingin menjadi guru di sebuah sekolah dasar menjadi
pencuri matahari. Mungkin bagi anak-anak seusiaku, cita-cita memang seringkali
berubah-ubah.
“Kenapa
harus matahari, Ntur?” tanya guruku dengan nada yang aku tidak bisa
mengartikannya. Yang jelas, nada bicaranya berbeda dari biasanya.
“Karena
Ibu bilang matahari memancarkan cahaya sendiri.” jawabku biasa.
“Bintang
juga memancarkan cahaya sendiri. Bintang banyak di langit. Jika kau mencurinya
satu atau bahkan lebih, tidak ada yang tahu. Tapi jika matahari, saat kau
mencurinya, orang-orang akan tahu.”
“Bintang
tidak pernah turun ke bumi, Ibu. Aku juga tidak bisa memanjat langit. Aku tahu,
bintang tidak pernah jatuh. Yang jatuh itu meteor.”
“Jadi
kapan matahari jatuh ke bumi?”
“Pada
saat sore dan pagi harinya. Sore ia akan berendam di lautan dan pagi sebelum ia
terbit ia berada di pegunungan.” ujarku masih dengan nada biasa. Semua orang di
dalam kelas itu tertawa mendengar jawabanku. Pun guruku. Aku tidak tahu kenapa
mereka tertawa. Yang jelas aku dengar ada yang mengatakan kalau aku ada
peningkatan dalam hal melucu sejak aku kehilangan ayahku.
*****
Setiap
sore aku berenang ke tengah lautan. Tidak ada yang melarangku. Mereka hanya
menatapku biasa. Seperti biasanya seseorang yang sedang melihat sapi memakan
rumput. Tapi aku tidak pernah berhasil menemukan di mana tepatnya matahari itu
berendam. Mungkin barangkali aku kurang jauh. Bahkan aku belum sampai pada
pertengahan lautan.
Hingga
di sore itu aku memaksakan diriku untuk terus berenang. Aku mengabaikan lelah
yang menyerang seluruh tubuhku sampai akhirnya aku tidak merasakan apa-apa
lagi. Hanya kaku. Aku rasa aku sudah mati saat itu.
Tapi
malamnya saat aku terbangun, aku menatap sekeliling. Bukan tanah yang berada di
sampingku. Tidak ada cacing atau kalajengking yang bersiap menyantap tubuhku.
Aku tidak berbaring di atas tanah dan dihimpit oleh tanah juga. Aku berbaring
di atas dipan, tempat di mana aku biasa tidur. Seingatku, aku telah mati tadi
sore di lautan. Aku tidak tahu kenapa aku berada di sini sekarang. Aku berjalan
menuju kamar ibu. Aku lihat ibu sedang tertidur pulas. Aku urung membangunkan
ibu. Setidaknya saat tidurlah ibu terlihat lebih tenang.
Besok
paginya aku tanyakan pada ibu perihal kejadian semalam. Ibu hanya menggeleng
sambil mengatakan dua kata ‘tidak tahu’. Dan sejak saat itu pula aku mengubah
ruteku. Aku tidak lagi mencari matahari saat sore. Saat ia membenamkan dirinya
dalam lautan. Aku mulai mencarinya saat subuh, saat ia bersiap-siap terbit di
ufuk timur.
*****
Hari
itu sekitar jam tiga pagi aku telah bangun. Aku melihat ibu ke kamar. Ibu masih
tidur nyenyak. Bukan takut ketahuan oleh ibu dan akhirnya ibu melarangku untuk
mencari matahari, tapi aku takut langkah kakiku akan membangunkan ibu dari
tidurnya. Sehingga aku usahakan untuk sepelan mungkin melangkah dan menutup
pintu kembali.
Ini
adalah pertama kalinya aku keluar saat malam. Di luar masih gelap. Hanya ada
hening dan kesunyian. Barangkali jam segini orang-orang sedang nyenyak dalam
tidurnya. Atau mungkin ada sebagian orang yang taat, ia sedang beribadah menghadap
Tuhan mereka. Malam memang waktu yang tenang untuk beribadah. Tapi aku malah
keluar dan mencari matahari.
Aku
menjadi anak yang pemberani kecuali perihal bicara. Akhir-akhir ini frekuensiku
bicara semakin berkurang. Aku hanya berpikir dan berpikir.
Tidak
jauh perjalanan yang aku tempuh. Cahaya matahari berangsur-angsur mulai
menyelimuti bumi. Aku rasa aku kurang tepat dalam menghitung waktu. Jika besok
aku ingin menemukan matahari, mungkin aku harus berangkat lebih cepat dari hari
ini. Aku tidak mungkin mencuri matahari yang sudah tinggi di atas langit. Aku
tidak punya tangga untuk ke langit. Seandainya ada, orang-orang pasti akan
membunuhku karena mereka juga tidak akan mau kehilangan matahari dalam
hidupnya.
Hingga
suatu ketika, aku mulai berangkat saat pagi. Aku menghabiskan beberapa hari di
perjalanan. Aku telah berjalan jauh. Dan aku sudah tidak pulang ke rumah dalam
waktu yang lama. Ibu tidak akan kehilanganku. Saat aku pulang, ibu juga tidak
akan pernah bertanya ke mana aku selama ini. Jadi aku tidak perlu
mengkhawatirkan banyak hal.
Aku
memasuki hutan demi hutan. Aku memakan apapun yang bisa dimakan. Aku menghindar
dari binatang buas untuk menyelamatkan diriku agar tidak menjadi santapannya.
Tapi tubuhku mengenal lelah juga. Hingga akhirnya aku terkulai lelah dan
tertidur entah dalam waktu berapa lama. Saat aku terbangun, seekor singa telah
menatapku dengan tatapan kelaparan.
Aku
berlari sekuat tenaga. Singa mengejarku dengan lari yang tak kalah cepat.
Dengan tubuh yang lelah, setidaknya aku hanya tidak boleh membiarkan diriku
menyerah begitu saja. Mungkin menunda waktu makan singa, begitulah yang aku
lakukan saat ini. Dan saat aku menoleh ke belakang untuk memastikan seberapa
dekat jarak singa itu dariku, sesuatu menghalangi kakiku hingga membuat tubuhku
terjatuh. Pandanganku mulai kabur. Aku masih bisa melihat singa yang dengan
gagah menghampiri tubuhku yang lemah.
Di
saat-saat gentingku, hanya satu hal yang bisa aku ingat. Ya, pesan ibu dulu
saat ayah masih berada di antara kami. Ibu menyuruhku untuk rajin belajar
supaya kelak bisa mendapatkan pekerjaan selain menjadi nelayan yang hanya
mempertarungkan nyawanya. Tapi ibu tidak ingat satu hal, di atas rencana
kehidupan yang seolah telah digambar ibu untukku, masih ada Tuhan yang mengatur
tentang takdir manusia. Dan buktinya, aku hanya bisa bersekolah sampai sekolah
dasar lantaran ayah mengakhiri ajalnya hanya dengan segulung ombak besar yang
menerjang perahunya.
Sejak
kepergian ayah yang ibu sendiri tidak menguburkan jasadnya layaknya orang lain,
ibu menjadi perempuan tercengeng yang pernah aku temui. Dunia ibu terlihat
gelap. Dan aku rasa ibu telah kehilangan matahari di matanya.
Setiap
malam ibu menangis. Aku bertanya pada ibu kenapa ibu tidak berhenti saja
menangis. Lagian ayah juga tidak akan kembali sekuat apapun ibu menangis. Walau
aku hanya menduduki kelas lima saja, setidaknya aku pernah belajar kalau orang
mati itu tidak akan pernah hidup lagi. Tapi ibu tidak pernah menjawab
pertanyaanku. Ibu hanya terus menangis. Aku bahkan yakin telah memakan nasi
yang di campur dengan air mata ibu.
Aku
seolah menjadi seseorang yang bernyawa tapi tak berjasad. Aku seolah menjadi
seseorang yang memiliki mulut untuk bicara, tapi tak pernah didengar. Aku muak.
Dan sejak saat itu aku menjadi anak lelaki pemurung yang lebih memilih diam
daripada bicara tapi lebih sering meneteskan air mata.
Tapi
di sore yang aku sendiri tidak tahu harus aku bilang apa, ibu kembali dengan
mata yang tidak lagi memancarkan kesedihan. Ibu tersenyum menatapku. Dan
berjalan menujuku yang saat itu telah berdiri di halaman rumah dengan pakaian
yang sangat kotor.
“Kau
darimana saja, Ntur?” ujar ibu dengan nada lembut sambil membelai rambutku yang
kotor dan mungkin berbau busuk. Aku hanya diam.
“Kau
baik-baik saja?” ibu bertanya lagi padaku.
“Kau
lapar?” Semakin banyak pertanyaan yang keluar dari mulut ibu. Dan kau tahu, aku
hanya bisa menjawabnya dengan anggukan dan gelengan. Mungkin sesekali
mengatakan iya atau tidak.
Aku
pikir, ibu tidak akan pernah membaik. Tapi aku lupa, luka seiring berjalannya
waktu pasti akan kering. Dan aku yakin luka ibu sudah mulai membaik. Aku
bahagia. Setidaknya aku tidak perlu lagi mencuri matahari untuk ibu karena
matahari itu telah bersinar kembali di mata ibu. Tapi aku rasa, aku tidak bisa
lagi menjadi anak lelaki periang. Aku sudah terbiasa dengan sifat bekuku.
Aku
hanya menatap ibu datar. Ibu mengajakku masuk. Saat itu mataku menemukan
seorang lelaki yang sedang berdiri di pintu rumahku. Ia menatapku tersenyum.
Aku hanya diam. Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa. Aku tidak bicara
atau bertanya. Aku hanya mencoba berpikir. Sudah berapa lama aku pergi? Aku
bahkan tidak bisa mengingatnya.
Padang, 2017